
Oleh: Andre Vincent Wenas
Dulu tahun 2008 sampai dengan 2018 PT Asuransi Jiwasraya tersangkut skandal dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi. Saat itu Isa Rachmatarwata yang menjabat sebagai Kepala Biro Perasuransian di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) pada periode 2006 sampai 2012.
Saat Isa bertugas di Bapepam-LK, ia adalah otoritas yang menyetujui usulan direksi PT Asuransi Jiwasraya untuk meluncurkan produk “JS Saving Plan” yang merupakan perkawinan produk asuransi dengan produk investasi. Dan produk ini menjanjikan return yang jauh lebih tinggi (sekitar 9% sampai 13%) dari bunga deposito perbankan (yang sekitar 5% sampai 7%). Padahal kondisi keuangan Perusahaan asuransi ini sedang insolven.
Insolven artinya seluruh asset (aktiva) Perusahaan jika dijual tidak tidak cukup untuk menutupi kewajibannnya. Saat itu Risk Based Capital (RBC) Perusahaan sedang mengalami minus, terjun bebas. Kondisi negatif, bahkan sampai raturan persen minusnya.
Bagaimana mungkin bisa memberi janji surga padahal diri perusahaan sedang berada di neraka. Kondisi ini yang membuat Isa Rachmatarwata terperangkap pelanggaran. Ironis, ya ironis memang kok direksinya nekad, otoritasnya bisa kasih ijin. Dan… kok ada juga nasabah yang mau beli produk junk (sampah) seperti itu. Serba salah.
Seperti dikatakan tadi, ini jadi skandal investasi bergaya “Ponzi”. Gali lubang tutup lubang. Skema Ponzi seperti kita ketahui adalah modus investasi palsu. Karena untuk membagikan keuntungan kepada investor bukan berasal dari keuntungan yang diperoleh dari kegiatan operasi Perusahaan. Tapi berasal dari investor selanjutnya yang dilakukan dengan cara merekrut anggota baru.
Dengan model pyramid seperti ini, skema investasi Ponzi akan kolaps tatkala tidak ada lagi anggota baru yang bisa direkrut, akibatnya aliran dana akan terhenti. Berhentinya aliran dana yang masuk mengakibatkan perusahaan tidak punya kemampuan membayar atau gagal bayar.
Latar belakang Ponzi. Skema investasi seperti ini dicetuskan pertama kali oleh Charles Ponzi pada tahun 1920 di Amerika Serikat. Ia akhirnya ditangkap dan dipenjara gara-gara skemanya menyebabkan kerugian senilai sekitar 20 juta dollar bagi para investor atau penanam modalnya.
Keterangan Foto : Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata saat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Foto: Ist
Isa Rachmatarwata saat ditersangkakan oleh Kejagung pada 7 Februari 2025 masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Ia juga merangkap jabatan sebagai komisaris di PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk.
Telkom jadi ikut-ikutan kebakaran jenggot. Buru-buru mengeluarkan press-release yang menyatakan skandal yang melibatkan komisaris Isa Rachmatarwata tidak mempengaruhi kinerja operasional Telkom.
Memang merepotkan kalau anggota dewan komisaris suatu perusahaan terlibat dalam kasus pelanggaran aturan baku usaha jasa asuransi. Padahal tugas dewan komisaris adalah mengawasi Perusahaan agar setia di jalur aturan. Benar-benar ironis.
Persoalan tambah runyam dengan adanya skandal permainan di bursa saham. Untuk meraup keuntungan yang banyak demi menutupi janji produk JS Saving Plan yang bunganya aduhai tingginya, direksi Jiwasraya memutuskan untuk ikut dalam investasi di pasar saham.
Saat itu kabarnya Jiwasraya ikut-ikutan dalam permainan bandar besar macam Benny Tjokro (Bentjok). Singkat cerita imperium bisnis goreng menggoreng saham oleh Bentjok dan konco-konconya akhirnya ambrol dan dia masuk penjara. Waktu itu terkait pula dengan kasus Asabri. Ya Bentjok akhirnya masuk penjara, penjara seumur hidup.
Goreng-menggorang saham atau istilahnya “cornering” dalam perdagangan saham bukan hal baru. Para pemain atau ‘investor’ di bursa saham sudah paham akan hal itu. Pergerakan harga saham akan menjadi tidak ‘natural’, akibat dari ada rekayasa. Ada unsur manipulatif memang.
Cornering adalah tindakan transaksi yang dilakukan satu pihak atau lebih untuk menurunkan harga atau menaikkan harga sampai harga yang diinginkan. Ada upaya rekayasa disitu.
Di bursa yang besar seperti New York Stock Exchange (NYSE) akan sangat sulit (hampir tidak mungkin) melakukan cornering pasar. Lantaran size atau ukuran pasar (kapitalisasi) yang terlalu besar dan diversifikasi sahamnya yang tersebar.
Namun di bursa yang relatif kecil seperti IDX (Indonesia Stock Exchange) bukanlah hal yang mustahil untuk praktek menggoreng saham demi menggarong duit dengan cara yang seolah prosedural. Atau paling tidak tampilannya halal, walau esensinya haram.
Tinggal tanya saja pada para pemain saham di IDX. Sepertinya semua sudah tahu sama tahu, siapa-siapa saja pemain yang suka goreng-menggoreng ini. Sudah rahasia umum.
Secara prosedural cornering ini memang nampak sah, sesuai aturan. Namun, jika kita mengacu UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Pasal 92 disebutkan: “Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.”
Selain aspek hukum positif, kita bisa menyoroti dari sisi etika bisnis dan praktek manajemen yang baik. GCG istilahnya, atau Good Corporate Governance. Menteri BUMN Erick Thohir menggarisbawahi soal akhlak para pemimpin bisnisnya.
Kerugian Negara dari hasil dalam skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tidak tanggung-tanggung mencapai Rp 16,81 triliun. Jumlah ini terdiri dari kerugian investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian dari investasi reksa dana Rp 12,16 triliun.
Praktek kejahatan kerah putih model begini memang bukan sekali jadi. Tapi ini proses panjang. Ini tipe kejahatan non-konvensional. Kemungkinan besar juga ada penggelapan dalam laporan keuangannya. Dan ini melibatkan banyak pihak, oknum-oknum di jajaran manajemen dan pihak eksternal lainnya atau perusahaan mitra yang jadi pengelola aset, sekuritas, auditor, dan lain-lain. Suatu konspirasi berjangka panjang.
Dan konspirasi selama bertahun-tahun itu berlangsung tanpa ada koreksi atau pengawasan yang ketat. Bagaimana itu bisa terjadi? Tanyakan saja pada dinding ruang rapat direksi, komisaris dan instansi pengawas keuangan semacam OJK, Bapepam, auditor, dan instansi terkait lainnya.
Pada intinya adalah rekayasa investasi saham. Pada awalnya Jiwasraya berinvestasi dengan membeli saham atau reksa dana. Ternyata yang dibeli tidak liquid. Kenapa tidak liquid, karena memang saham yang sudah digoreng-goreng, kebanyakan digoreng sehingga kadar kolesterolnya sudah tinggi. Bisa bikin stroke. Dan itu yang terjadi.
Kasus Jiwasraya ini termasuk skandal besar. Akhirnya Isa Rachmatarwata salah satu aktor dalam konspirasi besar ini ditersangkakan oleh Kejagung. Kita lihat bagaimana kelanjutannya.
Banyak nasabah Jiwasraya yang jadi korban sudah pasrah dengan nasibnya. Mungkin banyak pula yang sudah almarhum, suara mereka hanya bisa didengar bukan oleh telinga tapi oleh hati nurani.
Jakarta, Selasa, 11 Februari 2025