Penulis : Mahendra Ranto, SH., MH
OPINI – Kasus pengoplosan BBM, seperti yang ramai diperbincangkan dalam isu Pertamax oplosan, bukan sekadar kejahatan ekonomi, melainkan tindakan yang mengancam hajat hidup orang banyak. Kejahatan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan nyawa masyarakat luas. Dalam konteks hukum dan keadilan, pantaskah pelaku pengoplosan BBM dijatuhi hukuman mati
Kejahatan Luar Biasa yang Menuntut Sanksi Berat
Pengoplosan BBM melibatkan tindakan manipulasi bahan bakar dengan mencampurkan zat lain demi keuntungan pribadi. Akibatnya, kualitas bahan bakar menurun, berisiko merusak kendaraan, dan yang lebih fatal, bisa memicu kecelakaan atau kebakaran. Dalam beberapa kasus, bahan bakar oplosan yang mudah menguap meningkatkan potensi ledakan, yang secara langsung mengancam keselamatan jiwa pengguna.
Jika merujuk pada prinsip hukum pidana, suatu kejahatan dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) jika berdampak luas terhadap kepentingan publik. Dalam hal ini, pengoplosan BBM berpotensi merusak sektor energi nasional, membahayakan masyarakat, dan mengkhianati kepercayaan publik. Maka, penerapan hukuman maksimal, termasuk hukuman mati, bisa dipertimbangkan sebagai efek jera.
Landasan Hukum untuk Hukuman Mati
Di Indonesia, hukuman mati diterapkan dalam beberapa kasus, seperti narkotika, terorisme, dan korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah besar. Jika merujuk pada Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Tipikor (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001), hukuman mati bisa dijatuhkan jika tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu, seperti krisis ekonomi.
Dalam konteks BBM oplosan, negara mengalami kerugian triliunan rupiah akibat ulah mafia energi. Jika terbukti ada praktik suap, manipulasi distribusi, dan penggelapan dalam jumlah besar yang mengancam perekonomian dan keselamatan rakyat, maka dasar hukum untuk hukuman mati bisa diperluas melalui perubahan regulasi atau tafsir hukum.
Perspektif Moral dan Keadilan Sosial
Dari sisi moralitas, hukuman mati kerap menjadi perdebatan. Namun, jika sebuah kejahatan berulang kali dilakukan dengan dampak destruktif bagi masyarakat luas, hukum harus menunjukkan ketegasan. Hukuman mati bukan hanya tentang membalas kejahatan, tetapi juga mencegah potensi kejahatan serupa di masa depan.
Jika seorang bandar narkoba bisa dihukum mati karena merusak generasi bangsa, lalu mengapa pelaku pengoplosan BBM yang membahayakan nyawa jutaan rakyat tidak mendapatkan hukuman serupa? Apalagi jika mereka adalah bagian dari sindikat besar yang sengaja mengeksploitasi sistem demi keuntungan pribadi.
Kesimpulan
Hukuman mati bagi pelaku kejahatan BBM oplosan bukanlah keputusan yang bisa diambil secara emosional. Diperlukan revisi hukum dan kajian mendalam tentang dampak kejahatan ini terhadap negara dan masyarakat. Namun, jika kejahatan ini terbukti sistematis, terorganisir, dan berdampak luas hingga membahayakan nyawa rakyat, maka penerapan hukuman mati bisa menjadi pertimbangan serius demi tegaknya keadilan dan perlindungan bagi masyarakat.