Penulis : Juni Ahyar, S.Pd., M.Pd
MEDIALITERASI.ID | OPINI – Manusia sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup seorang diri tanpa ada bantuan dari orang lain, karena itu manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Hasil dari interaksi antara manusia dengan sesamanya itulah yang menghasilkan rupa-rupa budaya.
Manusia berkembang dengan seluruh potensi yang dimilikinya, sehingga menyebabkan interaksi antar golongan semakin berkembang pula. Begitu halnya dengan daerah-daerah juga menjadi semakin berkembang mengikuti arus dari waktu ke waktu, sehingga daerah harus memiliki sesuatu hal yang dapat menjadi ciri khas ataupun identitasnya.
Provinsi Aceh juga harus terbuka terhadap adanya pengaruh dari daerah lain serta negara yang lain, yang bisa disebut sebagai perbedaan budaya. Pengaruh-pengaruh tersebut diantaranya adalah pertukaran perdagangan, pola pemikiran, serta aspek-aspek kebudayaan lain yang biasa disebut dengan globalisasi.
Pada konsep pemahaman perbedaan budaya, orang dituntut untuk mengerti dan menyadari perbedaan budaya yang mencakup adat istiadat, kebiasaan, norma hukum, bahasa, dan cara berkomunikasi. Tuntutan itu digunakan untuk menghindari salah paham yang dapat menimbulkan konflik (Priambada, 2011).
Perbedaan budaya menciptakan nilai untuk menentukan alternatif yang dapat sama-sama diterima oleh masing-masing budaya di setiap kelompok. Pemahaman akan perbedaan budaya merupakan bentuk interaksi antara satu budaya dengan budaya yang lain yang memberikan dampak atau pengaruh terhadap budaya lainnya.
Pemahaman perbedaan budaya sangat diperlukan bagi para pemimpin daerah yang sedang bertugas di tempatnya.
Keragaman budaya lokal di Indonesia adalah harta yang tak ternilai. Perilaku individu, kelompok, dan organisasi selalu terkait dan dipengaruhi oleh budaya lokal. Menurut kondisi ini, banyak teori dan sains terutama dalam masalah perilaku organisasi yang dihasilkan dari studi di luar negeri yang mengadopsi nilai-nilai dan budaya dari masing-masing daerah. Salah satu dari banyak perilaku individu yang paling menarik perhatian saat ini adalah pada bahasa kepemimpinan.
Akhir -akhir ini gaya komunikasi kepemimpinan Gubernur Aceh H. Muzakir Manaf (Mualem) kerap disoroti publik. Gaya komunikasi yang katagori mempertahankan budaya Aceh dalam sisi Bahasa yang sering penyampaian dalam pesan pidatonya dalam Bahasa daerah bek syeh syoh, bek karu, Jipeo ma jih kom boh, weh weuh geutanyo dan dimanapun pidato itu selalu ada menggunakan Bahasa daerahnya. Perkataan ini enteng diucapkan tapi berefek besar dalam memaknai dalam mempertahankan budaya Aceh dalam bidang Bahasa, Bahasa merupakan landasan identitas budaya suatu masyarakat. Setiap kata dan ungkapannya mengandung nilai-nilai budaya yang diwariskan secara turun-temurun.
Bahasa Aceh sendiri memiliki keunikan dan memiliki kekayaan budaya dan literasi tersendiri. Literatur bahasa Aceh juga digunakan dalam sejumlah karya seperti, sajak, puisi, dan tulisan lainnya. Bahkan Bahasa Aceh merupakan bahasa yang kaya dan memiliki sejarah yang panjang.
Bahasa memungkinkan individu untuk mengekspresikan identitasnya, melestarikan warisan budayanya, dan merayakan keunikannya dalam dunia yang semakin saling terhubung.
Yang menjadi opini publik malah bukan pada saat beliau menggunakan Bahasa daerah namun pada saat beliau beralih menggunakan Bahasa Indonesia pada acara/situasi formal dan menggunakan Bahasa yang kurang teliti seperti pelantikan walikota Banda Aceh salah dalam hal pengucapan tahun dari 2025 s.d.2023 ini tidak sistematis, begitu juga pada saat beliau mengatakan “Pak Mawardi dulu sudah menjadi junior bukan senior lagi yang seharusnya beliau mengatakan sudah senior jadi sering sekali terbalik pada saat beliau menggunakan kalimat, dalam hal ini seharusnya penasihat beliau menjelaskan pada saat gladi misalnya sehingga kesalahan beliau bisa diminimalisir.
Memang semua bahasa mengandung jejak sejarah dan perkembangan kebudayaan. Namun perubahan bahasa sering kali mencerminkan peristiwa sejarah, migrasi, penjajahan, dan interaksi budaya yang membentuk identitas suatu Masyarakat. Bahasa tidak hanya menyampaikan makna harfiah, tetapi juga norma budaya, nilai, dan norma sosial suatu masyarakat. Bahasa, melalui penggunaan kata-kata, ungkapan, dan idiom, mencerminkan pandangan dunia dan keyakinan yang mendasari cara berpikir kelompok manusia daerahnya masing-masing.
Banyak Bahasa, bahkan lebih dari 7.000 bahasa digunakan di seluruh dunia, masing-masing mencerminkan keragaman budaya manusia. Bahasa-bahasa ini mengungkapkan kekayaan warisan budaya dari berbagai suku, masyarakat, dan kelompok di seluruh dunia. Pentingnya memahami dan menghargai perbedaan bahasa guna melestarikan dan memelihara keanekaragaman budaya.
Masyarakat Aceh yakin dan berharap dibawah kepemimpinan gubenur Aceh bisa membangkitkan budaya leluhur dari segi Bahasa indatu bahkan semua aspek keacehan bisa memasukan kurikulum lokal kekhususan Aceh di dinas Pendidikan dan Lembaga Lembaga Pendidikan yang ada di Aceh.
Lhokseumawe, Selasa 18 Februari 2025