Oleh :
T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor, pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.
Selamat Memperingati Isra’ dan Mi’raj 1446-H, Semoga Kita Kelak Mendapatkan Syafa’at, Dari Baginda Nabi Muhammad SAW.
BANGSA INDONESIA, khususnya masyarakat Aceh sudah lama dikenal sebagai bangsa religius. Islam sebagai agama samawi menawarkan konsepsi kepemimpinan atas bangsa dan negara. Perjalanan Isra Mi’raj Rasulullah Muhammad SAW yang sarat dengan pembelajaran kepemimpinan. Rasulullah SAW adalah teladan terbaik bagi umat manusia. Bahkan, para ilmuwan Barat pun telah mengakuinya.
Michael H. Hart menempatkan Nabi Muhammad sebagai tokoh paling berpengaruh dalam sejarah pada urutan pertama sepanjang zaman. Dia menegaskan, “My choice of Muhammad to lead the list of the world’s most influential persons may surprise some readers be questioned by other, but he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular levels.”
Setiap diri adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas sikap dan cara kepemimpinannya, begitu Rasulullah bersabda. Jika merujuk pada sabda Nabi Muhammad SAW di atas dapat dipahami bahwa pemimpin itu adalah sifat yang harus melekat dalam setiap diri manusia. Artinya, setiap manusia diciptakan Allah telah mengemban fungsi kepemimpinan yang harus dijalankan selama ia hidup di dunia. Prestasi apa yang telah ia capai ketika menjalankan kepemimpinan ini akan diperhitungkan oleh Allah SWT kelak pada hari akhir. Hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya fungsi kepemimpinan ini. Sukses gagalnya manusia pada hari akhir kelak sangat ditentukan oleh fungsi kepemimpinan ini.
Apakah dia amanah atau tidak amanah. Setiap manusia dilahirkan untuk menjadi seorang pemimpin, yang membedakan antar umat manusia hanyalah ruang lingkup kepemimpinan yang diembannya. Apakah ruang lingkupnya dunia, satu negara, wilayah, desa, keluarga, atau sekadar memimpin diri sendiri. Semua adalah bentuk amanah yang diberikan Allah SWT kepada manusia yang dengannya harus dipertanggungjawabkan. Begitu juga peristiwa yang sangat fenomenal sebagai bagian dari mukjizat dari Allah kepada Rasulullah adalah Isra Mi’raj.
Sebuah perjalanan yang hanya bisa ditimbang berdasarkan keimanan ini mengandung banyak dimensi. Menembus kosmos dan ruang angkasa dalam waktu semalam adalah peristiwa keimanan. Meski di dalamnya Allah menaburkan berbagai pelajaran, dari pelajaran kepemimpinan hingga peradaban sains. Peristiwa Isra Mi’raj memiliki tiga isyarat kepemimpinan yang bisa dijadikan teladan bagi umat Islam dan seluruh manusia.
Sebab, Rasulullah diutus Allah tidak hanya kepada umat Islam, tetapi juga untuk menebarkan rahmat bagi alam semesta. Allah berfirman, “Kami tiada mengutus Rasul-Rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui,” (QS Al Anbiyaa : 7). Isyarat pertama adalah adanya perubahan arah kepemimpinan politik Islam dari kepemimpinan jahiliyah.
Kalau memperhatikan uraian sirah, ternyata Rasulullah dalam peristiwa Isra tidak langsung dari Masjidil Haram di Makkah menuju Masjidil al-Aqsha di Baitul Maqdis al-Quds (Yerusalem), tetapi melewati Yatsrib (Madinah), Madyan Thursina di Mesir, Bethlehem. Dari paparan tersebut, dapat dilihat adanya isyarat kepemimpinan dan kekuasaan Rasulullah serta umat Islam melampaui daerah yang disinggahi Rasul dan itu terbukti, bahkan melebihi daerah tersebut.
Itulah mengapa setelah Rasulullah diperjalankan oleh Allah, beliau dengan gigih melakukan dakwah dan perjuangan politik hingga tegak daulah Madinah, menggantikan sistem kepemimpinan jahiliyah yang selama ini berlangsung di jazirah Arab. Kepemimpinan Rasulullah di Madinah otomatis menjadi tonggak baru bagi kepemimpinan peradaban Islam hingga beberapa abad setelahnya. Isyarat kedua adalah adanya penegasan bahwa kepemimpinan Rasulullah adalah kepemimpinan manusiawi yang sesuai dengan fitrah manusia.
Hal ini bisa dilihat ketika Rasul ditawari Jibril saat sampai di Baitul Maqdis, yaitu dua gelas minuman yang berisi susu dan khamar. Rasul pun memilih susu. Ketika Rasul memilih susu, Jibril memberi komentar bahwa Rasul mendapat petunjuk untuk memilih yang sesuai dengan fitrahnya. Ini tidak lain mengabarkan kita bahwa agama Islam yang dibawa Rasul sesuai dengan fitrah manusia sepanjang masa. Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang manusiawi, bukan ilahiyah.
Seorang pemimpin dalam Islam adalah mereka yang mendapat amanah dari rakyat untuk menjalankan syariah Islam bagi kebaikan seluruh umat manusia. Melalui mekanisme baiat, seorang pemimpin Islam berjanji untuk menerapkan Islam secara kaffah dan tidak mengikuti sistem hukum dan kepemimpinan jahiliyah. Hal ini ditegaskan oleh Allah dan QS al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. Adapun isyarat ketiga dari peristiwa Isra Mi’raj adalah adanya penegasan bahwa Rasulullah adalah nabi akhir zaman untuk seluruh manusia. Rasulullah tidaklah sama dengan nabi-nabi sebelumnya yang diutus sebatas kepada kaumnya.
Sementara Muhammad adalah nabi untuk seluruh dunia. Hal ini bisa dipahami dari peristiwa ketika Rasul berada di Masjidil Aqsha, atas kehendak Allah SWT seluruh nabi mulai Adam AS hingga Isa AS dihidupkan. Beliau sempat berbicara dengan mereka. Di masjid ini, Rasulullah menjadi imam shalat jamaah khusus dengan makmum para nabi (Adz Dzahabi, Sirah Nabawiyah, hlm.154). Rasul menjadi imam shalat para nabi yang memimpin umat manusia dengan zaman yang berbeda-beda, suku yang berbeda-beda dan warna kulit yang berbeda-beda pula.
Hal ini menegaskan, misi kepemimpinan Islam menembus batas-batas negara, bangsa, warna kulit, suku, bahkan hingga agama. Itulah mengapa di Daulah Madinah, hidup pula orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai warga negara. Moralitas kepemimpinan yang mulia memang tidak akan tumbuh sendiri, dibutuhkan sebuah mental kuat dan lingkungan yang kondusif. Dorongan dari orang-orang terdekat akan mampu menjadi energi positif bagi tumbuh kembang mental kepemimpinan ini.
Dalam sejarah, peradaban Islam telah banyak melahirkan kepemimpinan yang mulia dan Islami. Mereka tumbuh bersamaan dengan keluarga yang Islami, lingkungan dengan sistem Islam, dan ketakwaan masyarakat yang tinggi. Dengan demikian, melalui peristiwa perjalanan Isra Mi’raj bangsa ini harus belajar tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan Islami yang mulia dan menyejahterakan lahir batin adalah pemimpin yang lahir dari sistem yang mulia juga. Penerapan sistem Islam dalam sejarah peradaban Islam telah mampu melahirkan pemimpin yang selain menyerukan tauhid kepada Allah, juga memberikan kesejahteraan hidup bagi rakyatnya. Karena itu, selain memilih pemimpin yang Islami, bangsa ini tidak boleh melupakan kewajiban untuk membangun sistem yang Islami pula. Keduanya harus berjalan secara sinergi. Semoga tulisan ini Bermanfaat.
—————
Bumi Serambi Mekkah, 26 Januari 2025.