Kuah Tuhee Menjadi Menu dalam Menyusun Politik Desa - Media Literasi

Home / OPINI

Minggu, 5 Oktober 2025 - 01:00 WIB

Kuah Tuhee Menjadi Menu dalam Menyusun Politik Desa

Oleh: Endang Kusmadi [Pemerhati sosial, jurnalis, dan penggiat literasi, sekaligus pemerhati politik lokal]

OPINI – Menjelang pemilihan kepala desa (Pilkades), aroma politik sering kali menyeruak dari dapur hingga ke balai desa. Obrolan di warung kopi bergeser dari harga sembako menjadi soal “siapa yang pantas memimpin.” Di tengah hiruk-pikuk itu, Kuah Tuhee hidangan khas Aceh yang sarat makna kebersamaan, kini seolah menjadi menu wajib dalam menyusun strategi politik desa.

Pertanyaannya, apakah Kuah Tuhee telah berubah menjadi “menu politik” dalam perebutan kursi kepala desa?

Tradisi makan bersama yang semula bernilai silaturahmi, belakangan kerap disalahartikan atau dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Sebuah kenduri yang dulu diniatkan untuk mempererat persaudaraan, kini bisa menjadi alat pendekatan untuk menarik simpati pemilih.

Ketika aroma rempah bercampur dengan pesan halus seperti “jangan lupa pilih si anu nanti”, di situlah budaya dan etika politik mulai tumpang tindih. Mudah -mudahan tidak terjadi di sekeliling kita.

Kuah Tuhee dan Politik Silaturahmi

Dalam kultur Aceh, Kuah Tuhee bukan sekadar makanan; ia simbol persaudaraan, penghormatan terhadap tamu, dan wujud rasa syukur bahkan diberkati karena sudah berbagi rejeki. Namun jika dikemas dalam konteks politik, simbol ini bisa berubah makna menjadi alat untuk memengaruhi pilihan masyarakat.

Padahal, Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 112 Tahun 2014 Pasal 29 ayat (1) huruf j) dengan jelas menyebutkan bahwa:

Calon kepala desa dilarang memberi, menjanjikan, atau memberikan uang atau barang kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan.

Jika pesta makan-makan dilakukan dalam masa kampanye atau memiliki unsur ajakan politik, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk gratifikasi politik, atau yang lazim disebut politik uang terselubung.

Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 73, ditegaskan bahwa calon kepala desa yang melakukan pelanggaran seperti politik uang dapat didiskualifikasi atau dibatalkan pencalonannya.

Maka dari itu, pesta “Kuah Tuhee politik” sejatinya bukan sekadar tradisi, melainkan potensi pelanggaran hukum dan moral demokrasi.

Apakah Jabatan Kepala Desa Begitu Prestisius?

Pertanyaan penting yang perlu kita renungkan bersama:

“Apakah jabatan kepala desa begitu prestisius hingga harus disusun strategi politik sedemikian rupa, bahkan sampai menjadikan Kuah Tuhee sebagai alat pendekatan?” Padahal sejatinya, kepala desa adalah pelayan masyarakat, bukan penguasa di atas rakyat.

Baca Juga  KETIKA HATI KAUM ULEE BALANG DAN BANGSAWAN ACEH TERLUKA

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa kepala desa berfungsi menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, serta pemberdayaan masyarakat.

Artinya, jabatan kepala desa adalah amanah besar, bukan ajang pamer kekuasaan. Realitas menunjukkan bahwa jabatan kepala desa kini sering dianggap lebih dari sekadar pemimpin lokal. Dengan dana desa yang mencapai rata-rata Rp1 miliar per tahun (berdasarkan data Kementrian Desa PDTT 2024), kepala desa memiliki kewenangan besar dalam mengatur pembangunan dan perekonomian desa. Tak mengherankan jika kursi ini diperlakukan layaknya “kursi menteri kecil”, bukan lagi ruang pengabdian, melainkan simbol kekuasaan dan gengsi.

Persaingan pun semakin panas. Hubungan antar warga yang semula harmonis bisa retak hanya karena beda dukungan. Sebagai warga yang menyaksikan langsung dinamika ini, saya melihat bagaimana pesta politik di tingkat desa kerap mengorbankan nilai kebersamaan, kini, satu piring lauk bisa menjadi simbol keberpihakan, bukan lagi kebersamaan.

Etika Demokrasi dan Politik Rasa

Pilkades sejatinya adalah pesta demokrasi rakyat yang mengedepankan nilai moral, kesetaraan, dan kebersamaan. Namun demokrasi akan kehilangan maknanya bila dijalankan dengan logika transaksional. Kita tidak membutuhkan politik kuah, tetapi politik rasa, politik yang menghadirkan empati, moralitas, dan kejujuran.

Pesta makan-makan tidak salah bila murni sebagai silaturahmi, namun menjadi salah ketika ia dipakai untuk memengaruhi pilihan warga.

Calon kepala desa seharusnya berlomba dalam visi, gagasan, dan integritas, bukan dalam jumlah jamuan atau banyaknya undangan makan.

Politik sejati bukan tentang siapa yang bisa menyajikan Kuah Tuhee paling lezat,
melainkan siapa yang mampu menyajikan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Membangun Kesadaran Demokrasi Desa

Sudah saatnya masyarakat dan panitia Pilkades menegakkan kembali etika demokrasi desa. Panitia harus berani menindak segala bentuk politik uang, baik dalam bentuk uang tunai, barang, maupun fasilitas jamuan yang bermuatan politik.

Selain itu, pendidikan politik warga harus diperkuat. Masyarakat perlu disadarkan bahwa hak pilih tidak boleh dijual atau ditukar dengan jamuan sesaat. Pemimpin sejati tidak dinilai dari pesta yang ia buat, tetapi dari seberapa tulus ia melayani setelah terpilih.

Baca Juga  Betapa Berharganya Seorang Anak di Hati Ibu

Kuah Tuhee adalah simbol kehangatan dan persaudaraan masyarakat Aceh.
Ia seharusnya tetap menjadi bagian dari budaya, bukan bagian dari strategi politik.

Demokrasi akan matang jika rakyat memilih dengan hati, bukan dengan perut.
Jabatan kepala desa bukanlah mahkota kekuasaan, melainkan amanah pengabdian.

Semoga tulisan ini mampu mengetuk nurani kita semua, karena jabatan yang akan dimenangkan bukan untuk memperlihatkan kita lebih unggul dari yang lainnya, akan tetapi untuk di pertanggung jawabkan dunia dan akhirat.

Kullukum Ra’in wa Kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatih

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)

Hadis ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah kehormatan semata, melainkan amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Setiap pemimpin,  termasuk kepala desa  memikul tanggung jawab atas kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Begitu juga seterusnya

Semakin tinggi jabatan seseorang, semakin berat pula tanggung jawab yang akan dipertanggung jawabkan kelak. Karenanya, menjadi pemimpin bukan soal gengsi atau kuasa, tetapi tentang keikhlasan melayani dan menegakkan keadilan.

Kuah Tuhee boleh jadi lezat di lidah, namun dalam politik, rasa yang paling utama adalah kejujuran dan keikhlasan untuk mengabdi.
Biarlah meja makan tetap menjadi ruang silaturahmi, sementara panggung politik menjadi tempat menghidangkan gagasan kemakmuran bukan membangun kelompok kekuasaan.

Namun bagi penikmat kuah Tuhee, Politik itu tidak penting, yang penting rasa aroma wangi buah nangka dengan kuah santan yang kental lebih menggugah selera.

Mari kita kembali meneguhkan semangat gotong royong dan kebersamaan tanpa melahirkan riak -riak perpecahan. Pembangunan tidak akan berhasil hanya karena satu kepala desa yang cerdas, tetapi karena ada rakyat yang ikut bekerja, bergandeng tangan, dan saling percaya.
Setiap warga memiliki peran masing – masing yang saling melengkapi.

Mari kita tinggalkan politik kepentingan sempit dan menggantinya dengan politik keadaban: politik yang mengutamakan kebersamaan bukan dengan perpecahan demi kemaslahatan bersama. Dengan semangat ini, desa bukan hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga ruang tumbuhnya kemandirian dan martabat bersama.

Wallahu’aklam bisshawab…

Meunasah Kumbang, 5 Oktober 2025

Share :

Baca Juga

OPINI

Indonesia Harus Berani Melawan Hegemoni Platform Global

OPINI

BANK SYARIAH DI ACEH : ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

OPINI

Jika Ingin Disegani : Aceh Harus Mandiri Dalam Bidang Pangan dan Energi

OPINI

Kebijakan Arogan Bobby Nasution: Diskriminasi Plat BL Memantik Luka Lama Aceh–Sumut

OPINI

Program Makan Bergizi Gratis: Saatnya Dikembalikan ke Komite Sekolah

OPINI

Sepertiga Kekuatan Ekonomi Indonesia Dirampas Bandar Judi Online

ACEH

Beruk di Kampus Hijau: Menjaga Harmoni Alam dan Ilmu di Universitas Malikussaleh

OPINI

Presiden Perlu Juga Menyerap Pendapat dan Saran Lebih Banyak Dari Elemen Masyarakat Lainnya