ACEH UTARA – Ganja atau tanaman yang memiliki nama latin Cannabis adalah genus tumbuhan berbunga dari famili Cannabaceae. Tiga spesies yang dikenali antara lain Cannabis sativa, Cannabis indica, dan Cannabis ruderalis. Genus ini secara luas diterima sebagai yang asli dan berasal dari Asia Tengah, beberapa peneliti juga menganggap tumbuhan ini berasal Asia Selatan bagian atas.
Secara historis ganja pertama kali ditemukan di Cina pada tahun 2737 SM. Masyarakat Cina telah mengenal ganja sejak zaman batu.
Ganja juga sering di sebut “Marijuana” merupakan tanaman yang mudah hidup di iklim tropis, salah satunya Indonesia.
Salah satu foto seorang Ibu viral dimedia sosial lantaran tulisan “TOLONG, ANAKKU BUTUH GANJA MEDIS” tersebar luar di jagad Maya.
Unggahan foto seorang ibu memperjuangkan ganja medis untuk pengobatan anaknya viral di sejumlah media sosial. Hingga Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin meminta Majelis Ulama Indonesia untuk memfatwakan Ganja untuk medis.
Kini semakin banyak negara di dunia yang melegalkan produk berbahan dari ganja dengan alasan untuk medis. Setelah Kanada dan Uruguay, Thailand mengisi daftar terbaru negara yang membolehkan nya untuk medis.
Melansir Media Tempo.co, Laporan yang paling banyak dari penggunaan ganja untuk medis adalah untuk mengendalikan rasa sakit, dan terlihat diterima sebagai alternatif sebagai jenis opioid atau kelas obat penghilang rasa sakit. Penerimaannya semakin tinggi karena di Amerika Serikat, misalnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) menyebutkan lebih dari 20 persen orang dewasa di negara itu hidup dengan sakit kronis.
Di Amerika Serikat, 37 negara bagian telah melegalkan ganja medis dan 19 di antaranya bahkan mengizinkan orang dewasa membeli untuk tujuan rekreasi.
Namun, popularitas dan aksesibilitas dari produk-produk ganja yang semakin tinggi tak diimbangi riset terhadap efek penggunaannya sebagai obat yang masih terbatas. Inilah yang kemudian dikerjakan oleh Marian McDonagh dari Oregon Health & Science University, Amerika Serikat, dan koleganya. Mereka mengkaji lebih dari 3000 studi sebelumnya dalam sebuah studi kajian terbesar yang pernah dilakukan terhadap penggunaan produk ganja medis.
McDonagh dkk ingin memastikan apakah produk-produk dari ganja dapat secara spesifik mengurangi rasa sakit yang kronis–didefinisikan sebagai rasa sakit yang bertahan selama lebih dari 3 bulan–dan bagaimana rasio tetrahydrocannabinol (THC) terhadap cannabidiol (CBD) berdampak kepada efikasi. Laporannya telah dimuat dalam jurnal Annals of Internal Medicine, terbit 7 Juni 2022.
“Kami ingin tahu, akankah ganja untuk mengatasi rasa sakit kronis memiliki benefit lain yang sama (dibandingkan opioid)? Dan tentu saja, kami ingin menelisik ke efek samping, terutama yang lebih serius,” kata peneliti bidang epidemiologi klinis dan informasi medis itu
McDonagh dan tim kemudian menyaring dan mengindetifikasi 25 studi yang memenuhi kriteria terketat mereka: studi harus berjalan sedikitnya empat pekan dan memasukkan orang-orang dengan jenis sakit yang berbeda seperti sakit punggung, sakit kepala kronis dan diabetic neuropathy. Dari 25 studi itu, 18 memperbandingkan efek produk ganja dengan plasebo. Tidak ada dari studi-studi itu mencakupkan bahan yang bisa dibeli di toko atau apotek ganja untuk rekreasi.
Analisa secara keseluruhan mencakup data untuk lebih dari 14 ribu partisipan. Terungkap kalau beberapa produk ganja benar menyediakan pengurangan rasa sakit yang minor sampai moderat saja. Dan produk yang memiliki rasio kandungan THC terhadap CBD yang tinggi hampir selalu menawarkan reduksi rasa sakit paling dramatis, tapi itu kerap disertai efek samping termasuk rasa mual, lemas dan mengantuk.
THC menyediakan efek psikoaktif ganja atau populer disebut ‘high’. Sedangkan CBD dilaporkan menghilangkan gejala kecemasan dan peradangan, meski efikasinya sendiri masih diperdebatkan.
Partisipan yang menggunakan produk ganja mengandung sedikitnya 98 persen THC melaporkan kira-kira 30 persen pengurangan rasa sakit. Sebaliknya, tidak ada pemulihan yang signifikan pada mereka yang mengkonsumsi produk dengan kandungan THC lebih rendah dan CBD lebih tinggi.
“Ada begitu banyak informasi di luar sana yang menyebutkan CBD bisa menyembuhkan penyakit,” kata McDonagh. “Studi ini bisa membantu merintis klarifikasi apakah itu benar atau salah. Saat ini, yang jelas, tidak ada bukti yang cukup untuk mendukungnya.”
_Chokwan Kitty Chopaka, pemilik toko Chopaka yang menjual permen ganja tersenyum selama wawancara dengan Reuters di tokonya dekat persimpangan Asoke, di jantung distrik perbelanjaan utama Bangkok, Thailand, 8 Juni 2022. Kementerian kesehatan Thailand mengatakan telah menyetujui 1.181 produk termasuk kosmetik dan makanan, yang mengandung ekstrak ganja. REUTERS/Athit Perawongmetha
Orang-orang yang merasakan manfaat terbesar adalah mereka dengan neuropathic atau gangguan pada satu atau beberapa jaringan saraf yang biasanya menyebabkan sensasi terbakar atau kesemutan. Itu biasanya neurophatic yang disertai diabetes.
Para penelitinya mencatat bahwa, sementara produk ganja bisa direkomendasikan, hasil studi itu berbasis bukti yang masih terbatas yang mereka bisa kumpulkan. Studi lebih lanjut diperlukan sebelum ganja medis bisa direkomendasikan sebagai sebuah alternatif potensial untuk obat resep mengatasi rasa sakit. Dan karena kebanyakan uji yang dikaji terentang satu sampai enam bulan, masih belum jelas apakah produk ganja bisa menawarkan pemulihan jangka panjang yang bermakna.
McDonagh mengatakan, keputusan untuk menggunakan ganja medis seharusnya bergantung pula kepada pengobatan apa yang sudah dijalani atau dicoba dan apa keluhan secara spesifik. “Untuk setiap pasien, yang terbaik adalah memulai dengan dokter Anda untuk melihat apa yang lebih baik untuk Anda,” katanya.
Sumber : Tempo | Photo : Srenshoot | Editor : Endang