Fi Sabilillah; Refleksi 149 Tahun Ultimatum Belanda Perangi Aceh - Media Literasi

Home / OPINI

Sabtu, 26 Maret 2022 - 15:28 WIB

Fi Sabilillah; Refleksi 149 Tahun Ultimatum Belanda Perangi Aceh

Photo (Dok. Arya Purbaya) Memakai senjata, kain, dan kupiah tradisional Aceh koleksi Pedir Museum. Tahun 2018.

SEJARAH – Tepat hari ini, 149 tahun yang lalu (26 Maret 1873) Belanda memproklamasikan perang terhadap Kerajaan Aceh. Agresi perang Belanda untuk menaklukkan Aceh merupakan ambisi paling besar untuk menyempurnakan penjajahannya di Kepulauan Hindia, mengingat Aceh merupakan wilayah berdaulat yang belum dikuasai Belanda pada saat itu.

Perlawanan Rakyat Aceh dalam upaya melawan penjajahan Belanda disebut dengan “Prang Sabi” atau perang Fi Sabilillah karena selain mempertahankan negara juga mempertahankan Agama, sehingga karangan Tgk Chik Pante Kulu dengan Hikayat Prang Sabi yang fenomenal tersebut mampu membakar semangat para Mujahidin (Para Pejuang Aceh) dalam mempertahankan agama dan bangsa.

Salah satu bait yang paling menggetarkan hati bagi Rakyat Aceh adalah ” Sibeurangkasoe Syahid Dalam Prang, Allah Peutamoeng Syuruga Tinggi” dapat diartikan dalam bahasa Indonesia “Siapa Saja yang Syahid dalam Peperangan, maka Allah tempatkan di Syurga tertinggi”.

Selain itu gelora yang dibangkitkan di antaranya telah menempatkan posisi jihad melawan kafir Belanda adalah suatu kewajiban utama personal muslim setelah syahadat dan shalat 5 waktu.

Terlepas dari klaim pihak Belanda yang menyatakan telah memenangkan perang pada tahun 1904, pada kenyataannya perang terus berlangsung sampai tahun 1942, dan telah menewaskan lebih dari 37 ribu personel pasukan Hindia Belanda.

Perang Aceh-Belanda yang dimulai tahun 1873 tercatat sebagai pertempuran terlama dan yang paling menguras keuangan dibandingkan dengan seluruh peperangan kolonial, hampir 1 miliar Gulden, atau setara hampir 7,8 trilyun Rupiah saat ini yang telah digelontorkan pemerintah Belanda.

Pihak Belanda tak pernah menyangka bahwa ambisi rakusnya itu telah menyeretnya kepada peperangan terpanjang paling dahsyat dan paling merugikan sepanjang sejarah Belanda. Hal itu dapat dibuktikan dari beberapa kutipan tulisan tentang pengakuan para sejarawan Belanda dan barat yang sangat penting untuk disimak, agar kita dapat mengukur dan sekaligus mengingat seberapa dahsyatnya perang tersebut dan seberapa agung serta terhormatnya para pejuang Bangsa Aceh.

Salah satunya pernyataan Letnan Kolonel G.B. Hooijer, dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5, menyatakan “Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh”.

Baca Juga  Basarnas dan PMI Banda Aceh Berhasil Kumpulkan 95 Kantong Darah

Selian itu H.C Zentgraaff dalam bukunya yang berjudul Atjeh, juga mengakui “Namun, dari semua pemimpin perang kita yang pernah bertempur di setiap pojok dan lubang kepulauan Indonesia ini kita akan mendengar, bahwa tidak ada suatu bangsa yang begitu bersemangat dan fanatik dalam menghadapi musuh kecuali bangsa Aceh dengan wanita-wanitanya yang jauh lebih unggul dari pada semua bangsa lain dalam keberanian menghadapi maut, bahkan dalam mempertahankan sesuatu pendirian yang merupakan kepentingan nasional dan agama, para wanita baik di belakang layar maupun secara terang-terangan telah memimpin perlawanan yang tak kalah unggulnya dari kaum pria”.

“Wanita Aceh menuju ke medan perjuangan senjata. Ia tak pernah gentar mengikuti suami dan pasukan-pasukannya dalam pertempuran dan dalam perjalanan perjalanan mengharungi rimba raya dengan segala kekurangan dan bahaya yang tak luput dari intaian pasukan pasukan marsose yang berada dimana-mana. Ia menerima kandungannya dalam peperangan dan di situ pula ia melahirkannya, kadang-kadang antara dua buah peperangan dan semua itu selalu penuh dengan ketegangan-ketegangan. Kemudian ia berpindah dengan pasukan suaminya. Kebanyakan berjuang bersama-sama suaminya, kadang-kadang pula di sampingnya atau di hadapannya dan di tangan yang kecil mungil itu klewang dan rencong dapat berubah menjadi alat-alat senjata yang sangat dahsyat.

Wanita Aceh yang berjuang atas dasar Fi sabilillah (jalan Allah) menampik semua kompromi dan setiap kompromi, ia tidak akan menghianati wataknya sebagai seorang wanita dan hanya mengenal alternatif “Membunuh atau dibunuh”.

“Yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Aceh, baik pria maupun wanita, pada umumnya telah berjuang dengan gigih sekali untuk segala sesuatu yang mereka pandang sebagai kepentingan nasional atau agama mereka. Di antara pejuang-pejuang itu terdapat banyak sekali pria dan wanita yang menjadi kebanggaan setiap bangsa; mereka tidak kalah gagahnya dari tokoh-tokoh perang terkenal kita”.

Selain itu A.Doup, dalam buku berjudul Gedenkboek van het Korps Marechaussee 1890—1940 (Mengenang Korps Marsose) yang terbit pada tahun 1942, halaman 248, menulis “Kepahlawanan orang Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dan bumi persadanya, seperti yang diperagakannya selama perang Belanda di Aceh menimbulkan rasa hormat pada pihak marsose serta kekagumannya akan keberanian, kerelaan gugur di medan juang, pengorbanannya dan daya tahannya yang tinggi. Orang Aceh tidak habis-habis akalnya dalam menciptakan murni dan melaksanakan siasat perang yang asli, sementara pengamatannya sangat tajam. Ia mengamat-amati dengan cermat setiap gerak-gerik pemimpin brigade, dan tahu benar pemimpin-pemimpin brigade mana yang melakukan patroli dengan ceroboh serta mana pula yang selalu siap siaga secara teratur”.

Baca Juga  Kapolri Rotasi Sejumlah PJU Polda Aceh, Kombes Winardy Jabat Dirreskrimsus

Begitu juga denga Paul van’t Veer dalam bukunya De Atjeh-Oorlog (Perang Aceh) yang terbit pada tahun 1963, halaman 293, menulis “Perang Belanda di Aceh tidak berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang seutas benang ke tahun 1942, sebuah jejak pembunuhan dan pemukulan sampai mati, dari perlawanan di bawah sampai ke atas tanah yang menyebar luas seperti tahun-tahun 1925 sampai tahun 1927 dan kemudian lagi dalam tahun 1933 sehingga kemudian terjadi pemberontakan-pemberontakan setempat. Puluhan “pembunuhan Aceh” yang terjadi di antara tahun-tahun itu cukup diketahui di seluruh Hindia Belanda. Pada masa-masa belakangan ini diketahui bahwa benang merah itu menjurus dari tahun 1914 ke tahun 1942 sehingga sejarahnya sejak tahun 1873 sampai dengan tahun 1942, yakni saat orang Belanda meninggalkan daerah Aceh untuk selama-lamanya”.

“Aceh adalah daerah terakhir yang ditaklukkan oleh Belanda dan merupakan daerah pertama yang terlepas dari kekuasaannya. Kepergian Belanda dari sana pada tahun 1942 adalah saat terakhir ia berada di bumi Aceh. Selama 69 tahun, Belanda tak henti-hentinya di Aceh dan ini sudah lebih dari cukup”.

Bahkan Pierre Heijboer, dalam buku Klamboes, Klewangs, Klapperbomen, yang terbit tahun 1977 pada halaman 137, menulis “Orang-orang Aceh ternyata bukan saja pejuang-pejuang yang fanatik, tetapi mereka juga tergolong pembangun kubu-kubu pertahanan yang ulung sekali”.

Pengakuan kegagahan para pejuang Aceh juga di tuangkan dalam tulisan Anthony Reid, dalam bukunya The Contest for North Sumatra, The Netherlands Britain 1858-1898, menulis “Selama berabad-abad Aceh telah membuktikan kemampuan, baik dalam hal perdagangan, pertanian, maupun dalam bidang peperangan, selama tahun-tahun pertama melawan Belanda mereka telah membuktikan bahwa mereka layak memperoleh perhatian besar dari orang-orang Eropa dan kaum muslimin di dunia. Dalam hubungan ini Aceh juga telah memberikan sumbangan kepada pertumbuhan kesetiaan yang lebih tebal di Indonesia”.

Penulis : Arya Purbaya, Pemerhati Sejarah Sekaligus Guru Sejarah dan Aktivis Sejarah MAPESA

Share :

Baca Juga

OPINI

JOKOWI UMPANKAN KE HIU, PAK PRABOWO ?

OPINI

Puasa Mengajarkan Kita untuk Saling Menyayangi

OPINI

Bahasa Aceh Memprihatinkan dan Diambang Kepunahan

OPINI

Penunjukan Mawardi Nur Sebagai Dirut PT PEMA Sudah Tepat

OPINI

Narasi Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan BBM Oplosan: Sebuah Tinjauan Hukum dan Moral

OPINI

Halalkah Dana PKH yang Bersumber dari Hutang Negara

OPINI

Komunikasi Pemimpin Sangat Berpengaruh Terhadap Opini Publik

OPINI

Perkebunan Sawit Yang Menjarah Hutan di Indonesia Patut Dikenakan Sanksi Hukum Yang Berat