Penulis : Juni Ahyar, S.Pd. M.Pd Pemerhati Pendidikan
MEDIALITERASI.ID | OPINI – Pemberian tunjangan kinerja (tukin) kepada dosen menjadi salah satu isu yang terus mencuat di kalangan pendidikan tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak pihak mempertanyakan mengapa dosen belum sepenuhnya mendapatkan hak tukin, sementara lembaga pendidikan lain, seperti sekolah menengah dan institusi pemerintah non-pendidikan, telah lebih dulu menikmati tunjangan ini. Tinjauan dari aspek regulasi dan perbandingan dengan lembaga pendidikan lain menunjukkan urgensi pemberian tukin kepada dosen sebagai bentuk penghargaan atas kontribusi mereka dalam mencerdaskan bangsa.
Mengingat Dasar Hukum Tukin bagi Dosen
Tunjangan kinerja (tukin) merupakan salah satu komponen penting dalam sistem remunerasi aparatur sipil negara (ASN), termasuk dosen. Tukin diberikan sebagai penghargaan atas kinerja dan produktivitas pegawai dalam menjalankan tugasnya. Dasar hukum pemberian tukin diatur dalam berbagai regulasi, antara lain:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN): Menegaskan bahwa ASN, termasuk dosen, berhak mendapatkan penghasilan yang adil dan layak sesuai dengan beban kerja, tanggung jawab, dan risiko pekerjaannya.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2019: Mengatur tentang gaji, tunjangan, dan fasilitas lain bagi ASN, termasuk dosen. Meski demikian, implementasi tukin untuk dosen masih terbatas pada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) tertentu yang memiliki otonomi keuangan.
Perpres Nomor 76 Tahun 2022: Memperkuat kebijakan pemberian tukin berbasis kinerja kepada ASN, termasuk dosen, dengan penekanan pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Namun, hingga saat ini, pemberian tukin kepada dosen belum merata di seluruh perguruan tinggi negeri maupun swasta. Hal ini disebabkan oleh berbagai kendala, seperti keterbatasan anggaran, ketidakjelasan mekanisme penilaian kinerja, dan minimnya koordinasi antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan Kementerian Keuangan.
Kalau Dibandingkan dengan Lembaga Pendidikan Lain Sejumlah lembaga pendidikan lain, seperti sekolah menengah (SMP dan SMA/SMK) di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta lembaga pemerintah non-pendidikan, telah lebih dulu menerima tukin. Berikut adalah beberapa contoh: Guru SMP/SMA/SMK Negeri: Guru-guru di jenjang pendidikan menengah telah menerima tukin sejak beberapa tahun lalu. Besaran tukin ditentukan berdasarkan kinerja individu dan kolektif, serta capaian akreditasi sekolah. Hal ini memberikan motivasi bagi guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
Institusi Pemerintah Non-Pendidikan: Contohnya, karyawan di Kementerian Keuangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Badan Pusat Statistik (BPS) telah menerima tukin secara rutin. Besaran tukin di institusi ini sering kali lebih tinggi dibandingkan dengan dosen, meskipun beban kerja dosen cenderung lebih kompleks karena melibatkan pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Ketimpangan ini memunculkan pertanyaan tentang keadilan distribusi tunjangan kinerja. Dosen, yang memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk generasi masa depan bangsa, seharusnya mendapatkan perlakuan setara dengan profesi lain di sektor pendidikan dan pemerintahan.
Alasan Pentingnya Tukin bagi Dosen
Pemberian tukin kepada dosen bukan hanya soal kesejahteraan semata, tetapi juga berkaitan dengan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Berikut adalah beberapa alasan mengapa tukin penting bagi dosen:
Meningkatkan Motivasi dan Produktivitas: Tukin dapat menjadi insentif yang efektif untuk mendorong dosen bekerja lebih optimal. Dengan adanya penghargaan berbasis kinerja, dosen akan lebih termotivasi untuk meningkatkan kualitas pengajaran, melakukan penelitian inovatif, dan berkontribusi kepada masyarakat.
Menyamakan Standar dengan Profesi Lain: Ketika dosen tidak mendapatkan tukin, sementara profesi lain di sektor pendidikan dan pemerintahan sudah menikmatinya, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan. Pemberian tukin kepada dosen akan menciptakan kesetaraan dalam sistem remunerasi ASN.
Mendukung Daya Saing Pendidikan Tinggi: Dengan tukin, dosen akan lebih fokus pada pengembangan diri dan profesionalisme. Hal ini akan berdampak positif pada kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, sehingga dapat bersaing di tingkat global.
Mengurangi Beban Finansial: Banyak dosen yang harus mencari tambahan penghasilan di luar tugas utama mereka karena gaji pokok yang relatif rendah. Tukin dapat membantu mengurangi beban finansial tersebut, sehingga dosen dapat lebih fokus pada tugas-tugas akademik.
Langkah yang Perlu Diambil
Untuk mewujudkan pemberian tukin kepada dosen secara merata, beberapa langkah strategis perlu dilakukan, antara lain:
Penyusunan Regulasi yang Jelas: Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih spesifik mengenai mekanisme pemberian tukin kepada dosen, termasuk formula penghitungan dan indikator penilaian kinerja.
Penambahan Anggaran: Kementerian Keuangan perlu mengalokasikan anggaran yang memadai untuk mendukung pemberian tukin kepada dosen di seluruh perguruan tinggi negeri dan swasta.
Penguatan Sistem Penilaian Kinerja: Institusi pendidikan tinggi harus membangun sistem penilaian kinerja yang transparan, objektif, dan adil. Hal ini akan memastikan bahwa tukin diberikan berdasarkan prestasi nyata.
Kolaborasi Antar lembaga: Kemendikbudristek, Kementerian Keuangan, dan perguruan tinggi perlu bekerja sama untuk memastikan implementasi tukin berjalan lancar dan tepat sasaran.
Pemberian tukin kepada dosen bukan hanya hak, tetapi juga kebutuhan mendesak untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan memperhatikan aturan yang ada dan melihat contoh dari lembaga pendidikan lain yang sudah mendapatkan tukin terlebih dahulu, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah konkret untuk mewujudkan keadilan bagi para dosen. Dengan demikian, dosen dapat lebih fokus pada misi utamanya, yaitu mencerdaskan anak bangsa.