MEDIALITERASI.ID | PAPUA – Demianus Yogi menyatakan kesediaannya untuk berdialog dengan syarat adanya mediator pihak ketiga seperti PBB, maka ini merupakan perkembangan signifikan dalam upaya menyelesaikan konflik di Papua. Permintaan untuk melibatkan PBB sebagai mediator menunjukkan kebutuhan akan proses yang independen, netral, dan bebas dari intervensi pihak yang berkepentingan. Jika Kepercayaan: Kehadiran PBB dapat meningkatkan kepercayaan kelompok pro-kemerdekaan dan masyarakat Papua terhadap proses perundingan. Terima melalui whatsapp Panglima WPA. 23/01/2025
Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra, berkomitmen untuk menyelesaikan konflik di Papua secara damai. Salah satu langkah yang diambil adalah mempertimbangkan pemberian amnesti kepada tahanan yang terkait dengan organisasi bersenjata di Papua, termasuk separatis, dengan syarat mereka meninggalkan kekerasan dan agenda separatisme. Yusril menyatakan bahwa pemerintah sedang menyusun daftar individu yang memenuhi syarat untuk amnesti, yang harus bersumpah setia kepada Indonesia dan menghentikan semua aktivitas separatis.
Selain itu, aktivis Juha Christensen menyatakan keinginannya untuk menjadi mediator dalam dialog antara pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok di Papua, termasuk kelompok separatis. Hal ini menunjukkan adanya upaya dari berbagai pihak untuk mendorong dialog sebagai solusi konflik di Papua.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga terus mendorong penyelesaian permasalahan Papua melalui pendekatan dialog dengan berbagai unsur, baik masyarakat maupun pemerintah. Komnas HAM siap menjembatani dialog antara masyarakat dengan pemerintah untuk menangani permasalahan Papua.
Langkah-langkah ini diharapkan dapat membawa harapan baru dalam menemukan solusi damai untuk konflik di Papua.
Tegaskan Panglima Tertinggi West Papua Army (WPA) menolak dialog langsung dengan pemerintah Indonesia dan menginginkan mediasi oleh pihak ketiga. WPA menyatakan dukungan penuh terhadap upaya diplomasi yang dipimpin oleh semua pihak termasuk United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Hal ini ditegaskan oleh, Panglima West Papua Army yang menyatakan bahwa WPA menolak dialog langsung dengan Jakarta dan lebih memilih proses diplomasi yang didorong oleh ULMWP.
Sikap Pernyataan Panglima WPA menyatakan Indonesia sering kali muncul sebagai kritik terhadap pendekatan pemerintah dalam menangani konflik Papua. Banyak pihak, termasuk aktivis dan masyarakat Papua, merasa bahwa berbagai program pembangunan yang dihadirkan pemerintah hanya menjadi “gula-gula” atau bentuk kosmetik yang tidak benar-benar menyentuh akar permasalahan. Dengan alasan utama kritik ini antara lain:
1. Minimnya Pendekatan Dialogis dan Kultural: Banyak program pembangunan yang dinilai tidak melibatkan masyarakat Papua secara langsung atau tidak memperhatikan kebutuhan budaya dan lokal mereka.
2. Ketimpangan Ekonomi: Meski ada pembangunan infrastruktur seperti jalan dan bandara, kesenjangan ekonomi tetap signifikan, dengan masyarakat asli Papua seringkali tidak merasakan manfaat langsung.
3. Penanganan Keamanan yang Militeristik: Konflik bersenjata yang terus terjadi di Papua sering kali diperparah oleh pendekatan militer yang dinilai represif, sehingga justru meningkatkan ketegangan antara masyarakat lokal dan aparat keamanan.
4. Kurangnya Kepercayaan: Banyak masyarakat Papua merasa bahwa pemerintah lebih berfokus pada eksploitasi sumber daya alam di Papua daripada meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.
5. Tidak Menyelesaikan Akar Masalah: Masalah seperti pelanggaran HAM, ketidakadilan historis, dan isu politik (seperti tuntutan penentuan nasib sendiri) sering kali diabaikan atau dianggap selesai dengan pendekatan pembangunan fisik.
Menurut Demianus Yogi Penyelesaian konflik di Papua melalui perundingan antara kelompok-kelompok konflik adalah langkah yang bijak dan mendesak. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil untuk memastikan perundingan yang inklusif, transparan, dan berorientasi pada solusi.
Pihak yang terlibat langsung: Pemerintah Indonesia, kelompok pro-kemerdekaan seperti ULMWP dan West Papua Army, masyarakat adat Papua, tokoh agama, dan akademisi.
Pihak internasional atau pihak ketiga: Hadirnya mediator independen (misalnya, dari PBB, MSG, PIF atau negara netral) dapat membantu memastikan proses perundingan berjalan adil dan tanpa dominasi. Pungkasnya. [Mogouda Yeimo]