Informasi Kami

Alamat : Jln. Line Pipa, Desa Blang Adoe, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Aceh

We Are Available 24/ 7. Call Now.

Oleh :

T.M. Jamil
Associate Profesor
Akademisi dan Pengamat Politik, USK, Banda Aceh

SEJARAH menunjukkan bahwa Perang Ukraina beberapa wakyu yang lalu itu berangkat dari konsep teman-musuh mendatangkan korban luar biasa, di Ukraina, Rusia dan seluruh dunia. Kekuatan demokrasi mesti diletakkan bukan pada citra musuh, tapi suverenitas kebaikan sipil. Kemelut Perang Dingin tamat dengan ambruknya Tembok Berlin, Uni Soviet, dan Blok Timur. Ideologi komunis-sosialis jadi pecundang. Fakta ini dilabel Francis Fukuyama sebagai The End of History (Akhir Sejarah, 1992).

Demokrasi liberal dan ekonomi pasar bebas memetik kemenangan telak. Persaingan sistem dianggap punah. Totalitarisme tak lagi jadi alternatif politik. Demokrasi melegitimasi posisinya sebagai tatanan relevan dan humanis. Kampanye dan pencangkokan demokrasi digencarkan. Akhir sejarah diperkokoh adanya integrasi dan asimilasi budaya non-Barat ke dalam budaya Barat. Prinsip arkais ditinggalkan demi negara hukum, kebebasan, dan HAM.

Terlepas dari glorifikasi demokrasi, Fukuyama mendeteksi rintangan ekspansi global demokrasi dan merebaknya disparitas sosial. Dinamika spesial mencuat di beberapa negara Islam.

Islamisme radikal dengan instrumen terorisme dan isu syariah dianggap pesaing serius demokrasi liberal. Otokrasi China dan sinyalemen diktatoris Rusia sekian lama hanya ditilik sebagai ancaman singa ompong. Rezim komunis China memblokir demokrasi, tapi menggebrak pasar bebas dengan benefit luar biasa. Putin menggunakan demokrasi untuk memperkuat kekuasaannya. Jangan lupa, demokrasilah yang meretas kiprah Hitler.

Islamisme radikal dengan instrumen terorisme dan isu syariah dianggap pesaing serius demokrasi liberal. Ulrich Beck menyajikan peringatan dini dalam tulisannya Feindlose Demokratie (demokrasi tanpa musuh, 1993). Kesudahan sejarah berupa kejayaan demokrasi dan kapitalisme pasar bebas bukan serentak berarti lenyapnya musuh demokrasi. Menurut Beck, demokrasi tanpa musuh sangat rentan. Kesalahan fatal terjadi ketika demokrasi merasa diri kokoh, pasti, stabil.

Ulasan Beck bagaikan tuangan air ke dalam anggur efori. Ia memprediksikan kebingungan dan ketidakpastian baru. Dalam ranah demokrasi liberal, fungsi negara sepertinya direduksi sebagai pelayan kesejahteraan. Individualisasi kian kuat dan kohesi sosial melemah. Ketika kebebasan bergerak dibatasi akibat pandemi Covid 2 tahun yang lalu, banyak yang tak setuju. Di sini jelas, kebebasan disetarakan dengan individualisme dan egoisme, padahal demokrasi berwacanakan keseimbangan antara penentuan nasib sendiri dan sosialitas.

Rongrongan intern terhadap stabilitas demokrasi juga berakar pada kesenjangan sosial yang membidani lahirnya kelompok populis yang zenofobis. Aliansi antidemokrasi kian kuat, ditandai popularitas pelbagai partai kanan dan kerinduan tampilnya pemimpin “bertangan besi.”

Biarpun begitu, demokrasi liberal tetap merasa aman dan menjalankan eksperimen modernitas tanpa figur musuh (enemy image). Lazimnya pada setiap negara meraja ada dua jenis otoritas, yakni dari rakyat dan musuh. Citra musuh sangat strategis sebagai sumber energi alternatif bagi konsensus dan kohesi sosial. Profil musuhlah yang menamatkan perang Dunia II. Aliansi Barat dan Timur berpadu menyingkirkan musuh bersama Nazi-Jerman.

Konsekuensi : Beck mempertanyakan kesuksesan eksperimen demokrasi tanpa musuh. Hilangnya musuh melahirkan beberapa konsekuensi signifikan. Demokrasi liberal kehilangan kesiagaan terhadap ancaman dari luar dan dalam. Dalam keadaan damai, bangsa Romawi mewariskan pesan bernas agar kita tak terlena. Si vis pacem para bellum (Kalau mau berdamai, siaplah perang).

Di tengah arus demokrasi liberal tanpa musuh atau tanpa yang beroposisi, Putin justru meracik skenario teman-musuh yang populis, irasional, sarat hasutan emosional. Di media Rusia dipropagandakan citra musuh demokrasi Barat yang korup, naif, hura-hura, dan bernafsu invasi ke Timur. Gambaran musuh ini secara transparan memaparkan bekas Blok Timur sebagai korban dan Rusia tampil bagai juru selamat dengan impian renaisans adidaya Uni Soviet.

Citra musuh bersasaran memperkuat emosi dan melegitimasi kekerasan. Propaganda dan demagogi Putin berefek aksi liar aneksasi Crimea (2015) dan kini dengan genderang perang ilegal terhadap seluruh Ukraina. Perang ini tak lain dari serbuan dan negasi atas prinsip demokrasi. Demokrasi dianggap ancaman. Arus kebebasan dalam negeri dilumpuhkan.

Kuantum demokrasi di negara-negara tetangga dikerdilkan. Sejarah memperlihatkan sistem totaliter (komunisme, nazisme, fasisme) adalah riak ketakutan dan perlawanan terhadap kebebasan. Jika mobilisasi pendukungnya telah kokoh, demokrasi akan dibonsai dengan cara apapun.

Segenap insan penyokong demokrasi terkejut dan digerogoti fobia Perang Dunia. Meski melanggar hukum internasional, Rusia tak dihadapi dengan tegas, hanya diberi sanksi. Ukraina disokong, tapi dibiarkan berjuang sendiri. Komitmen pada nilai demokrasi liberal bertumbuh dengan kesadaran akan fragilitas eksistensinya. Demokrasi dan supremasi hukum bukanlah otomatisme. Harus dipertahankan dan diperjuangkan. Benih ancaman wajib diidentifikasi.

Kita wajib merefleksikan kembali konstelasi teman-musuh. Perang Ukraina yang berangkat dari konsep teman-musuh mendatangkan korban luar biasa, di Ukraina, Rusia, dan seluruh dunia. Kita wajib merefleksikan kembali konstelasi teman-musuh. Hanya dengan itu kita sanggup membedakan yang memakai gambar musuh dan yang menderita akibat citra musuh. Bagaimana pula dengan kita?

Apakah demokrasi sejati butuh kategori teman-musuh? Kekuatan demokrasi mesti diletakkan bukan pada citra musuh, tapi suverenitas kebajikan sipil (civil courage). Musuh seharusnya diubah sebagai pesaing dalam kompetisi yang sehat, damai, dan fair. Demokrasi bersubstansikan kaidah toleransi dalam kemajemukan.

Kita tak harus selalu sepakat, tapi wajib respek terhadap pluralitas dan bersaing dalam bingkai etika, kebenaran, dan kemanusiaan. Keberagaman mencegah kita terjerumus dalam citra musuh. Demokrasi yang berjalan arogan ketika merasa diri benar justru itu awal dari sebuah kehancuran. Semoga ini tidak pernah terjadi di negara yang kita cintai ini.

Kota Madani, 2 Mei 2024.


editor

Medialiterasi.id Portal Media Informasi, Edukasi dan Peradaban Dunia. Melihat Fakta dengan Cara Berbeda Aktual dan Terdepan dalam Menyajikan Beragam Peristiwa di Seluruh Pelosok Nusantara.