
SEJARAH – Setelah agresi militer ke 1 tanggal 21 Juli 1947 Indonesia sangat dirugikan, terlebih lagi dalam perundingan Renville garis van mook disetujui sebagai garis demarkasi yang mengakibatkan wilayah yang di duduki oleh Belanda dalam agresi 1 menjadi milik Belanda dan akibatnya wilayah Republik Indonesia semakin sempit.
Beranjak dari kejadian tersebut, dan melihat tidak tertutup kemungkinan Belanda akan mengulangi agresi militernya sebagai upaya tindakan akhir pelenyapan Republik Indonesia, maka Sukarno perlu untuk melakukan konsolidasi terhadap daerah yang bebas dari pengaruh Belanda, Wilayah tersebut adalah Aceh, salah satu wilayah bebas yang otonom, strategis, dan punya potensi yang besar bagi kelangsungan perjuangan Republik Indonesia bahkan ketika Sukarno tiba di Aceh pada 18 Juni 1948 menjuluki Aceh sebagai “Daerah Modal”.
Namun terdapat statemen yang umumnya berlaku di Aceh bahwa kedatangan Sukarno ke Aceh sebagai upaya Republik Indonesia untuk meminta agar Aceh bergabung ke dalam Republik Indonesia.
Aceh secara De facto dan De jure merupakan bagian dari Republik Indonesia ketika diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Setidaknya terdapat beberapa point penting yang menurut penulis dapat menguatkan pernyataan tersebut :
1. Vacum of Power (kekosongan kekuasaan)
Ketika Jepang kalah dalam Perang Asia Pasifik terjadi kekosongan kekuasaan atas beberapa wilayah jajahan Jepang di Indonesia walaupun dibeberapa wilayah Indonesia terdapat beberapa raja atau Sultan yang memerintah, namun ketika proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 mereka diberi pilihan bergabung dengan Republik Indonesia atau hancur dalam revolusi sosial.
Namun mereka lebih memilih yang kedua ketika mereka secara ragu-ragu memberikan dukungannya kepada republik. Untuk Aceh, wilayah ini tidak dipimpin oleh Sultan yang terpusat karena Belanda berhasil menghancurkan institusi kerajaan Aceh Darussalam pada 1903, sampai pada tahun 1945 wilayah atau mukim di Aceh dipimpin oleh uleebalang yang mendapatkan legitimasi dari Belanda maupun Jepang, jadi ketika Jepang kalah mereka cenderung tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Kekosongan kekuasaan tersebut terisi ketika di prokamirkan kemerdekaan sebuah negara baru yaitu Republik Indonesia dan elit-elit Aceh menyambut proklamasi tersebut.
2. Sidang PPKI
Salah satu hasil sidang PPKI adalah pembentukan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) merupakan suatu badan pemerintahan daerah suatu kepanjangan dari kekuasaan pusat Republik Indonesia. Utusan dari Sumatera yang menghadiri rapat PPKI yaitu Mr. Teuku Moh. Hasan, Dr. Amir, Mr. Abbas, merekalah yang ketika kembali ke Sumatera mengintruksikan agar dibentuknya KNID di setiap keresidenan di Sumatera.
Di keresidenan Aceh jabatan ketua KNI dipegang oleh Teuku Nyak Arief, setelah itu digantikan oleh Tuanku Mahmud setelah pada 3 Oktober 1945, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen Aceh. Kehadiran KNID dan diangkatnya T. Nyak Arief sebagai Residen menjadi bukti bahwa Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak di proklamirkan, dan tidak ada sejauh ini kita ketahui bahwa ada sebuah keinginan pada saat itu untuk Aceh mendirikan sebuah negara, setelah Jepang kalah.
Gerakan disintegrasi Aceh terhadap Republik baru terjadi di tahun 1953 dan 1976.
Menjadi sangat jelas bahwa kedatangan Soekarno 18 Juni 1948 bukan untuk meminta Aceh agar bergabung ke dalam Republik Indonesia karena Aceh sudah menjadi bagian dari Republik Indonesia sejak 17 Agustus 1945, dan yang dilakukan oleh Soekarno sebagai kepala negara adalah mobilisasi dan konsolidasi rakyat Aceh dalam persiapan melawan ke agresi militer Belanda.
Foto : Doc. M. Nur El Ibrahimy | Penyumbang bahan: Angga Prasetya.