Salah satu maksiat yang ditimbulkan oleh lisan adalah ghibah. Ghibah yaitu mengumbar/membicarakan sesuatu tentang saudaramu sesama muslim, baik ia masih hidup maupun yang telah meninggal, dan hal tersebut merupakan sesuatu yang dibenci oleh-nya (seandainya ia mendengarnya), baik tentang fisik, keturunan, pakaian, rumah, maupun akhlaknya, contohnya : si fulan pendek (ateng), si fulan juling, ayah nya si fulan seorang penyemir sepatu, si fulan kelakuan nya jelek atau tidak ber etika, si fulan seorang penipu, si fulan tidak ada kebaikan sedikitpun padanya, si fulan tukang tidur, si fulan banyak makan, si fulan pakaiannya lusuh, anak si fulan tidak mendapat didikan baik, si fulan merupakan suami yang diatur-atur oleh istrinya, dan sebagainya yang merupakan setiap perkataan yang seandainya diketahui oleh orang yang di ghibah, ia akan marah jika ia mengetahui nya. Allah ta’ala berfirman :
وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ ١٢
“Janganlah kalian menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : آ تَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا : اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُه،ُ ، قَالَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِيْ مَا أَقُوْلُ، قَالَ إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَم يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ (رواه مسلم) – صحيح مسلم : كتاب البر والصلة والآداب : باب تحريم الغيبة.
Dari Abu Hurairah R.a, Rasulullah SAW, Bersabda: “(Wahai sahabatku), apakah kalian mengetahui apa itu ghibah,?, Para Sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya lah yang lebih mengetahui-nya, Rasulullah bersabda : Ghibah adalah mengumbar/membicarakan sesuatu tentang saudaramu dan hal tersebut merupakan hal yang yang dibenci oleh-nya (seandainya ia mendengarnya), sahabat bertanya : bagaimana pendapat engkau (wahai Rasulullah) jika yang saya gunjing merupakan sesuatu yang ada pada dirinya, Rasulullah menjawab : “jika yang kalian gunjing merupakan sesuatu yang ada pada dirinya maka kalian telah meng-ghibahi-nya (menggunjingnya), akan tetapi jika yang kalian gunjing merupakan sesuatu yang tidak ada pada dirinya maka kalian telah mem-buhtan-nya (menfitnahnya)”, Hadist Riwayat Muslim, Dalam Kitab Shahih Muslim.
Baca Juga : Mendalami Makna Fitnah
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat dalam pembahasan ghibah, ada yang mengatakan bahwa ghibah merupakan dosa besar, dan ada pula yang mengatakan bahwa ghibah merupakan dosa kecil, lebih jelasnya, jika : yang di gunjing (ghibah) merupakan orang shalih dan ahli taqwa, maka ghibah tersebut hukumnya merupakan dosa besar, sedangkan jika yang di gunjing (ghibah) bukanlah orang shalih dan bukan ahli taqwa, maka tidak lah dihukumkan sebagai dosa besar. namun jika seandainya seorang muslim yang fasik menggunjing (mengghibah) saudaranya secara keji, sebagaimana halnya seseorang menggunjing sampai menyebutkan kejelekan saudaranya bukan karena landasan Tahzir (memperingati), maka hal tersebut dihukumkan sebagai dosa besar. Dalam hal ini sesuai dengan hadis, Rasulullah bersabda :
إِنَّ أَرْبَى الرِّبَا اسْتِطَالَةُ الرَّجُلِ فِي عِرْضِ أَخِيْهِ المسْلِمِ (رواه أبو داود)- سنن أبي داود : كتاب الأدب : باب فى الغيبة.
“Sesungguhnya seburuk buruk riba adalah merusak kehormatan seorang muslim” Hadist Riwayat Abu Daud dalam Kitab “ Sunan Abu Daud”
Sesungguhnya merusak kehormatan seorang muslim merupakan dosa besar, bahkan termasuk salah satu dosa yang sangat besar. Seandainya Rasulullah menamai ghibah sebagai seburuk- buruk riba, artinya ghibah tersebut merupakan dosa besar sebagaimana dosa riba. Sebagaimana diharamkannya ghibah, maka diharamkan pula diam atas perbuatan ghibah jika mampu untuk mencegahnya.
Kadang kala ghibah itu hukumnya dibolehkan bahkan hukumnya wajib, seperti halnya tahzir syar’i orang-orang yang melakukan perbuatan fasik, atau orang yang berkeyakinan sesat, walaupun kesesatan tersebut tidak sampai ketahap kekufuran, seperti halnya mentahzir pedagang yang menipu dalam berdagang, mentahzir pemberi kerja yang mengkhianati karyawannya, mentahzir para pemberi fatwa yang berfatwa tanpa ilmu, maka ghibah seperti ini hukumnya wajib.
Diterjemahkan oleh : Muzakky El Mahera | Kitab : Umdatul Al Raghrib Fi Mukhtashari Bughyah Al-Thalib | Photo : Ilustrasi Google