ANALISA PASAR- Bergejolaknya harga batubara pada tahun 2022 telah menimbulkan krisis multi-dimensi di beberapa negara. Batubara yang diharapkan untuk dikurangi penggunaannya baik untuk pembangkit listrik (thermal coal) maupun untuk industri pengolahan mineral (coking coal), malah semakin tinggi kebutuhannya. Hal ini tentu akan memberikan dampak terhadap usaha untuk mengurangi emisi gas buang akibat penggunaan batubara ini.
Harga batubara untuk kalori 6000 kcal/kg NAR, FOB di Newcastle Australia misalnya, sudah diatas $ 400 per ton untuk pengiriman quarter ketiga tahun ini. Bandingkan dengan harga rata-rata pada tahun 2020 untuk kalori yang sama yang hanya $ 60 per ton. Naik sekitar 7 kali lipat. Dapat dibayangkan ongkos yang ditanggung oleh pembeli batubara, kemudian diteruskan ke konsumen lewat naiknya harga energi yang berakibat pada inflasi di negara tersebut.
Mungkin sahabat IG dan FB bertanya-tanya kenapa naiknya bisa setinggi ini? Seperti yang selalu kami sampaikan, tidak ada satu pihak, baik individu, perusahaan dan negara di dunia yang bisa memastikan harga batubara akan berada di level berapa. Namun ada beberapa faktor yang bisa menjadi petunjuk kenapa harga batubara dunia sangat mahal di tahun 2022 ini.
Pertama, India sebagai salah satu negara pengimpor batubara terbesar di dunia mengalami kenaikan kebutuhan listrik pada tahun ini. Kondisi ini diperparah oleh turunnya produksi batubara dalam negeri akibat musim hujan yang di atas normal. Sektor kelistrikan di India sangat bergantung pada batubara (44%), oil (25%) dan biomass (13%). Kontribusi dari nuklir dan gas semakin berkurang sehingga batubara menjadi pilihan yang tidak terelakkan.
Kedua, terganggunya ketersedian energi untuk pembangkit listrik dan pemanas di Eropa terutamanya ketidakpastian suplai gas dari Rusia. Sekali lagi krisis Rusia dan Ukraina menyadarkan kita akan dampaknya terhadap banyak sektor. Lebih jauh lagi, suplai listrik dari PLTA di negara-negara Scandinavia dan gangguan pembangkit nuklir di Perancis telah menambah tekanan untuk mencari energi pengganti. Dengan sangat terpaksa pilihan jatuh pada penggunaan kembali PLTU. Sebagai contoh pemerintah Jerman akan menghidupkan kembali 9 GW PLTU pada tahun ini.
Ketiga, sejumlah tambang batubara di Australia direncanakan untuk ditutup dalam beberapa tahun ke depan. Penutupan tambang-tambang yang selama ini batubaranya dibutuhkan oleh Jepang, Korea, Taiwan dan India, memberikan sinyal ke market bahwa akan terjadi ketidakseimbangan supply-demand dalam waktu dekat. Karena batubara diperdagangkan kurang lebih sama seperti minyak, maka persepsi trader sangat mempengaruhi harga.
Keempat, produksi batubara dari Rusia mengalami penurunan akibat perang dengan Ukraina. Untuk dapat berproduksi, batubara yang semula ditujukan untuk kebutuhan negara Eropa dialihkan ke wilayah Timur Rusia. Sayangnya yang dibutuhkan bukan jenis thermal coal, tapi coking coal sehingga tambang yang punya thermal coal perlahan akan berhenti berproduksi.
Kelima, terjadinya penggantian presiden Columbia yang berjanji dalam masa kampanye untuk tidak memperpanjang kontrak-kontrak penambangan batubara. Beliau akan menghormati kontrak yang sudah ada tapi tidak akan memperbaruinya. Seperti yang kita tahu Columbia termasuk negara pengekspor batubara yang cukup berpengaruh. Dengan kondisi ini, akan terjadi kekurangan dari sisi suplai di masa depan yang berimbas pada naiknya harga batubara saat ini.
Selain kelima faktor diatas, tentu ada faktor lain yang secara tidak langsung membuat harga batubara bergejolak. Salah satunya adalah terganggunya LNG plant di Texas yang mengakibatkan LNG yang direncanakan untuk dipakai di Eropa tidak terpenuhi.
Tidak dapat dipungkiri, kebutuhan manusia akan batubara masih sangat tinggi. Namun demikian jangan sampai kita kehilangan fokus dalam membangun lingkungan yang lebih hijau dan berkelanjutan. Terima kasih.
Sumber : arcandratahar