Informasi Kami

Alamat : Jln. Line Pipa, Desa Blang Adoe, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Aceh

We Are Available 24/ 7. Call Now.

Oleh :
T.M. Jamil, Dr, Drs, M.Si
Associate Profesor,
pada Sekolah Pascasarjana USK, Banda Aceh.

DALAM BEBERAPA KALI Saya membimbing dan Menguji Proposal atau Disertasi terkesan bahwa mahasiswa calon doktor kurang sekali mengunjungi Library atau perpustakaan dalam rangka untuk membaca dan mencari buku referensi, jurnal ilmiah, atau jurnal internasional dan mempersiapkan diri dengan baik saat ujian berlangsung.

Ingatlah, bahwa untuk menuliskan sebuah Disertasi tidak dapat dilakukan secara “sambilan dan asal-asalan”. Lebih-lebih lagi menulis itu hanya dilakukan sekedar untuk dapat memenuhi syarat, mengikuti ujian atau seminar proposal, ujian doktor tertutup ataupun ujian doktor terbuka (Promosi Doktor).

Padahal disini mahasiswa sebagai kandidat doktor sangat dibutuhkan keseriusan, ketelitian dan wajib mempersiapkan diri dengan baik. Setelah membimbing dan menguji disertasi di sejumlah perguruan tinggi selama ini, saya memperoleh kesan dan pengalaman menarik berupa kesalahan-kesalahan umum dan terpola dalam penulisan proposal penelitian dan penulisan disertasi yang dilakukan oleh mahasiswa – yang seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi.

Disebutkan umum dan terpola karena kesalahan itu terjadi secara sistemik dan tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa di satu tempat. Anehnya, sebahagian di antara penulisnya tidak tahu bahwa mereka telah membuat kesalahan.

Yang lebih fatal lagi penulisnya tidak tahu atau tidak sadar bahwa mereka sedang menyusun karya ilmiah berupa disertasi. Pengalaman empirik itu saya tulis dalam naskah ini dengan harapan menjadi bahan renungan atau bahan diskusi bagi para penulis, calon penulis disertasi atau calon doktor.

Disertasi adalah karya ilmiah puncak di bidang akademik, sehingga jika lulus, penulisnya akan memperoleh gelar Doktor (Dr.), sebuah gelar yang tidak dimiliki oleh setiap orang, karena harus dilalui dengan studi di jenjang S3 dengan beberapa persyaratan tertentu yang tidak pula mudah untuk diwujudkan. Lazimnya memerlukan waktu minimal 3 hingga 5 tahun untuk menyelesaikan studi S3, malah ada yang jauh lebih lama lagi. Itu semua, jika prosesnya bisa berjalan dengan mulus. Tak sedikit juga Mahasiswa S3 (Program Doktor), gagal studi alias Drop Out (DU), dikeluarkan dari Kampus. Data ini memang relatif sulit untuk diperoleh, karena banyak Kampus yang tertutup dalam soal ini. Untuk menjaga nama baik dan eksistensinya kampus tersebut. Hhhmmm….

Semua itu sangat tergantung pada ‘nasib baik’ dalam menjalani proses dan menghormati sistem yang berjalan di mana mahasiswa tersebut belajar. Maka sudah sepantasnya, siapapun mahasiswa yang sedang belajar dan mengambil program doktor jangan pernah membandingkan antara satu kampus dengan kampus lain dalam bidang apapun. Sikap terbaik adalah mengikuti peraturan dan persyaratan yang ditetapkan kampus ketika kita telah memilih kampus tersebut tempat kita belajar, jika ingin sukses.

Bisa dibayangkan berapa banyak waktu, tenaga, uang dan pengorbanan lain yang dikeluarkan selama kurun waktu itu. Tidak jarang selama studi S3, mahasiswa juga harus berkorban secara psikis. Karena itu, sayang jika penulisan disertasi tidak dilakukan secara serius atau hanya mengejar target sesaat – dengan melupakan kualitas diri dan karya ilmiah yang sangat urgent itu.

Kesalahan akibat tidak tahu atau tidak sadar itu menjadikan disertasi layaknya tesis atau bahkan skripsi, malah ada tesis yang kualitasnya jauh lebih baik daripada disertasi. Ujiannya pun bisa bergeser, dari seharusnya ujian disertasi menjadi ujian tesis atau skripsi.

Ada juga kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi, karena semata-mata penulisnya kurang teliti, terutama yang menyangkut teknik penulisan, kesalahan-kesalahan bahasa berupa kesalahan ejaan serta susunan kalimat yang tidak logis, tidak gramatikal, dan kalimat yang tidak lengkap.

Jenis kesalahan terakhir ini bisa sangat mengganggu kualitas disertasi. Disertasi yang isinya cukup baik, topik yang dibahas menarik, metodologinya benar, dan teori yang dipakai juga tepat bisa rusak karena kesalahan bahasa.

Karena itu, kesalahan bahasa tidak bisa dipandang remeh dan seharusnya tidak perlu terjadi. Memang seorang penulis disertasi seyogyanya sudah tidak memiliki persoalan bahasa. Sayangnya, banyak penulis disertasi menggampangkan dan menganggap persoalan bahasa dianggap remeh.

KESALAHAN UMUM PENULISAN DISERTASI.
Secara umum, kesalahan-kesalahan penulisan disertasi itu mencakup 4 hal, yaitu tentang substansi, teori, metodologi, dan bahasa. Kesalahan substansi mencakup dua hal, yakni tema yang ditulis bukan dalam wilayah kajian ilmu yang ditekuni (not within the area of the body of knowledge) dan pertanyaan yang diajukan bersifat sangat teknis, sehingga tidak melahirkan suatu konsep.

Konsep tidak lain merupakan sebuah gagasan atau ide abstrak untuk menggambarkan gejala atau fenomena sosial yang dinyatakan dalam sebuah istilah atau kata. Wilayah kajian perlu memperoleh perhatian serius dari setiap penulis disertasi. Sebagaimana diketahui, setiap bidang ilmu memiliki bangunan pengetahuan (the body of knowledge) sendiri-sendiri yang berimplikasi pada metodologi yang berbeda antara satu disiplin ilmu dengan disiplin yang lain.

Memang bisa saja terjadi sebuah disiplin ilmu merupakan perpaduan antara dua atau mungkin tiga ilmu secara bersamaan. Ilmu-ilmu demikian disebut ilmu inter atau multi disiplin (inter or multi-desciplinary knowledge), termasuk jenis ilmu-ilmu terapan. Namun demikian, wilayah kajiannya harus tetap jelas dan terfokus.

Sebut saja, disiplin ilmu seperti Manajemen Pendidikan Islam merupakan ilmu terapan lintas disiplin (applied-interdesciplinary knowledge) yang mencakup ilmu pendidikan, manajemen dan keislaman. Mahasiswa yang studi di program studi ini harus sadar bahwa dia sedang mempelajari tiga jenis pengetahuan yang berbeda tetapi bergabung menjadi satu kesatuan disiplin.

Oleh karena itu, agar tidak mengalami kesalahan pemilihan tema atau objek kajian, sebelum memulai melakukan penelitian, penulis memastikan dulu bahwa tema yang ditulis merupakan bagian dari wilayah kajian bidang ilmu yang ditekuni. Tentu saja ini bisa diperoleh dengan diskusi secara intensif dengan promotor, dosen, para ahli atau peneliti-peneliti sebelumnya.

Pernah di suatu kesempatan ujian proposal disertasi mahasiswa Program Studi Manajemen Pendidikan, mahasiswa memaparkan rencana penelitiannya selama hampir 20 menit.

Saya ikuti dengan cermat paparan mahasiswa tersebut. Ternyata dia ingin meneliti model komunikasi kepala sekolah dengan murid-muridnya, dengan cara mengambil beberapa sekolah sebagai situs atau lokasi penelitian.

Ketika giliran saya bertanya, mahasiswa itu tampak terkejut ketika saya tanyakan “apa dia mahasiswa program studi manajemen atau mahasiswa program studi komunikasi.” Mahasiswa itu tampak bingung karena baru sadar bahwa dia sedang meneliti sesuatu di luar wilayah atau area bidang studinya. Sebab, seseorang tidak pernah bisa menulis karya ilmiah dengan baik di luar wilayah bidang keahliannya.

Pertanyaan saya itu membuat konsentrasi mahasiswa itu terganggu, sehingga jawaban-jawaban dari penguji lain sudah tidak tepat, bahkan terkesan ngelantur. Untungnya, itu baru ujian proposal, sehingga masih bisa diselamatkan.

Pertanyaan tersebut penting saya ajukan untuk memastikan bahwa mahasiswa itu benar-benar meneliti di bidang yang ditekuni sesuai program studinya dan kelak akan menjadi ahli di bidang itu.

Pengalaman lain juga pernah terjadi. Di ujian disertasi, saya memperoleh kesempatan pertama untuk mengajukan pertanyaan. Saya bertanya apa perbedaan mendasar antara disertasi, tesis dan skripsi. Dengan enaknya mahasiswa itu menjawab disertasi adalah karya ilmiah akhir untuk S3, tesis untuk S2, dan skripsi untuk S1. Betapa terkejutnya saya dan penguji yang lain mendengar jawaban tersebut. Semua penguji tak kuasa menahan tawa.

Memang jawaban itu tidak salah, tetapi tentu bukan itu yang diharapkan dari seoerang mahasiswa Calon Doktor. Saya ingin memperoleh jawaban secara substantif tentang perbedaan ketiga karya ilmiah itu. Pertanyaan tersebut saya ajukan karena kualitas disertasi itu sangat diragukan, karena tidak jauh berbeda dengan tesis, atau malah skripsi.

Perbedaan antara disertasi, tesis dan skripsi sebenarnya sudah bisa dilihat sejak bab awal, yaitu latar belakang atau konteks penelitian. Pada skripsi, penulis cukup mendeskripsikan fenomena secara jelas dengan urutan logika yang benar. Mendeskripsikan artinya menulis sesuatu apa adanya, tanpa menambah atau menguranginya, yang oleh para ahli disebut sebagai phenomena description.

Sedangkan pada tesis, selain menyajikan fenomena, penulis sudah wajib mencantumkan teori-teori atau konsep yang terkait dengan tema atau topik yang dibahas. Lazimnya, pada karya setingkat tesis penulis sudah bisa membedakan antara satu teori dengan teori yang lain.

Misalnya, seorang calon magister bidang pendidikan bahasa Inggeris yang meneliti tentang “Penguasaan Bahasa Asing oleh Pembelajar Pemula”, maka wajib memperkaya khasanah pengetahuannya mengenai teori-teori yang terkait tema tersebut. Teori-teori tersebut dibandingkan satu dengan yang lain untuk diperoleh persamaan dan perbedaannya, atau sering disebut theoretical gap.

Berbeda dengan tesis, disertasi tidak saja memaparkan fenomena dan teori-teori yang relevan dengan tema disertasi, tetapi juga hasil-hasil penelitian oleh para peneliti sejenis sebelumnya, siapa meneliti apa, dengan hasil apa, dan metode penelitian apa. Untuk itu, penulis disertasi sudah selayaknya memperkaya diri dengan pengetahuan yang banyak mengenai hasil-hasil penelitian sebelummya dengan membaca buku, majalah ilmiah dan jurnal.

Hasil-hasil penelitian itu dibandingkan satu dengan yang lain untuk dicari persamaan atau kemiripan dan perbedaannya, atau yang sering disebut finding gap. Di sini penulis disertasi wajib mengetahui siapa saja peneliti sebelumnya dengan tema sejenis, pertanyaan apa yang diajukan dengan hasil apa, dan metode penelitian apa, yang lazim disebut sebagai “state of the arts”. Gunanya untuk memperoleh kebaruan (novelty) penelitian.

Kesalahan substantif kedua mencakup kualitas pertanyaan penelitian yang diajukan. Tidak sedikit pertanyaan penelitian disertasi bersifat teknis dan operasional. Misalnya, pertanyaan “Bagaimana kepala sekolah merancang dan mengembangkan program kerja sekolah?”, “Bagaimana guru mengembangkan bahan ajar?” adalah contoh pertanyaan yang bersifat teknis operasional.

Tentu saja karena pertanyaannya sangat teknis jawaban atau temuan penelitiannya juga sangat teknis. Jawaban atau temuan penelitian sangat tergantung pada jenis pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan disertasi tidak boleh bersifat teknis atau operasional, tetapi harus konseptual. Untuk itu, penulis disertasi wajib memperkaya diri dengan pengetahuan filosofis mengenai tema yang diangkat sebelum merumuskan masalah yang akan dijawab.

Kualitas pertanyaan disertasi bisa dilihat apakah jawaban yang akan diperoleh memberikan khasanah pengetahuan baru bagi disiplin ilmu yang ditekuni atau tidak, atau sekadar mengulang dari temuan atau jawaban yang sudah ada. Jika tidak memberikan pengetahuan baru, apalagi hanya mengulang dengan menyatakan “hasil penelitian saya menegaskan atau mendukung hasil penelitian sebelumnya”, maka karya itu sejatinya tidak bermakna apa-apa bagi perkembangan ilmu pengetahuan, kecuali bagi penulisnya sendiri untuk memperoleh gelar doktor. Disertasinya juga tidak akan dibaca orang karena tidak menarik, dan hanya menjadi dokumen akademik yang tidak pernah bermakna bagi perkembangan peradaban umat manusia.

Kesalahan berikutnya tentang peran teori. Peran teori sangat tergantung pada paradigma penelitian yang digunakan. Pada paradigma positivistik, teori untuk diuji. Karena itu, penelitian berparadigma positivistik, yang lazimnya menggunakan metode kuantitatif, diawali dengan hipotesis. Hipotesis pada hakikatnya merupakan teori yang bersifat sementara. Hipotesis itu akan diuji. Hasilnya bisa terbukti, atau bisa tidak. Peneliti tidak perlu memaksa diri agar hipotesisnya terbukti dengan cara memanipulasi data.

Seorang peneliti harus jujur dengan data yang ada dan hasil apapun yang ditemukan. Jangan sekali-sekali melakukan manipulasi data. Biarkan data bicara (let data speak by themselves). Tugas peneliti menjadikan data berbicara apa adanya. Pada bagian akhir, peneliti akan menyatakan bahwa teori atau hipotesis yang diuji terbukti atau tidak terbukti. Karena itu, penelitian kuantitatif berangkat dari teori.

Sementara itu penelitian berparadigma interpretif, selain berperan sebagai alat analisis untuk memahami fenomena, teori untuk dikembangkan. Karena bertugas mengembangkan teori, maka peneliti dengan paradigma interpretif, yang lazimnya menggunakan metode kualitatif, wajib mengetahui teori-teori yang sudah ada sebelumnya.

Karena itu, sebelum melakukan langkah-langkah lebih lanjut seorang peneliti kualitatif disarankan untuk lebih dahulu membaca literatur terkait topik atau tema penelitiannya sebanyak mungkin sehingga bisa mengetahui posisi teoretik penelitian yang dilalukan dalam deretan bidang ilmu sejenis.

Misalnya, seorang mahasiswa yang melakukan penelitian bidang Manajemen Pendidikan wajib mengetahui teori atau konsep apa saja yang telah dihasilkan oleh para peneliti sebelumnya di bidang tersebut. Semakin banyak literatur yang dibaca akan semakin banyak pula khasanah pengetahuan di bidang yang akan diteliti sehingga memudahkan peneliti untuk memahami permasalahan secara lebih mendalam.

Akhirnya, peneliti kualitatif bisa menyatakan bahwa hasil penelitiannya menambah atau mengembangkan teori tertentu yang sudah ada sebelumnya. Sayangnya, masih sering ditemukan bahwa peneliti kualitatif mengakhiri penelitiannya dengan pernyataan bahwa hasil penelitiannya sesuai atau tidak sesuai dengan teori tertentu.

Tentu ini tidak tepat, karena dengan pernyataan tersebut berarti peneliti melakukan pembuktian teori. Dan, itu bukan tujuan penelitian kualitatif. Jika penelitian kuantitatif berangkat dari teori, maka penelitian kualitatif berangkat dari fenomena unik yang menarik diteliti untuk menghasilkan teori baru.

Saya pun beberapa kali menemukan kenyataan pada saat ujian disertasi mahasiswa belum mengerti tujuan akhir penelitiannya terkait dengan teori. Malah beberapa masih kacau dalam memahami antara apa yang dimaksud dengan membuktikan teori dan mengembangkan teori. Kesalahan pemahaman ini berakibat sangat fatal dalam keseluruhan proses penelitian.

Terkait hasil penelitian, tidak sedikit mahasiswa belum memahami thesis statement yang dihasilkan dari penelitiannya. Thesis statement merupakan pernyataan akhir dari seluruh proses penelitian berupa satu atau dua kalimat sebagai inti dari keseluruhan temuan penelitian.

Memang tidak mudah menyusun thesis statement. Diperlukan renungan mendalam oleh peneliti dengan membaca kembali pertanyaan penelitian, jawaban atas pertanyaan tersebut dengan merujuk teori yang telah ditulis di bab kajian pustaka.

Masih terkait teori, kesalahan yang sering terjadi adalah pemilihan teori yang tidak tepat. Akibatnya, hasil analisisnya juga tidak tepat. Teori ibarat pisau bedah.

Jika pisaunya tidak tepat, maka hasil bedahan atau irisannya juga tidak tepat. Penelitian merupakan aktivitas ilmiah yang menuntut kemampuan secara komprehensif, termasuk menempatkan peran dan posisi teori serta pemilihan teori yang tepat.

Kesalahan terkait metode penelitian. Metode penelitian dikembangkan dari paradigma penelitian yang dianut. Sebagaimana diketahui ada dua paradigma yang saling berhadapan, paradigma positivistik dan interpretif atau fenomenologi.

Paradigma positivistik yang memiliki pandangan tersendiri dalam memandang realitas sosial melahirkan metode penelitian kuantitatif dengan ciri-ciri dan prosedurnya sendiri.

Sedangkan paradigma interpretif, yang memiliki pandangan berbeda dari paradigma positivistik dalam memandang realitas. Semoga Posting ini Bermanfaat Bagi Para Pembaca Semua, khususnya untuk Sahabat-sahabat Calon Doktor. Insya Allah.

Sagoe Atjeh Rayeuk, 16 April 2024.


editor

Medialiterasi.id Portal Media Informasi, Edukasi dan Peradaban Dunia. Melihat Fakta dengan Cara Berbeda Aktual dan Terdepan dalam Menyajikan Beragam Peristiwa di Seluruh Pelosok Nusantara.