Oleh : Endang Kusmadi [Pengamat Politik dan Sosial, Jurnalis dan Penggerak Literasi]
Wacana peralihan PPPK ke PNS kembali ramai. Akankah kebijakan ini menghadirkan keadilan atau justru menutup peluang bagi generasi muda?
OPINI – Isu peralihan seluruh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kembali mengemuka dan memicu perdebatan publik. Kekhawatiran bermunculan bahwa kebijakan ini akan berdampak pada moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) seperti yang pernah terjadi pada 2014–2018.
Sebagian pihak menyambutnya sebagai langkah keadilan bagi PPPK yang telah lama mengabdi. Namun bagi generasi muda yang tengah mempersiapkan diri untuk seleksi CPNS, isu ini menimbulkan kecemasan: apakah kesempatan mereka menjadi ASN akan semakin mengecil?
Menurut laporan Badan Kepegawaian Negara (BKN) per 31 Desember 2024, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia mencapai 4.734.041 orang, terdiri dari 3.566.141 PNS (75%) dan 1.167.900 PPPK (25%).
Tren menunjukkan bahwa jumlah PNS terus menurun, sementara PPPK meningkat pesat. Sepanjang tahun 2024, pelamar PPPK mencapai lebih dari 1,6 juta orang, menandakan antusiasme tinggi terhadap jalur kerja kontrak pemerintah.
Kondisi ini menunjukkan pergeseran besar dalam sistem ASN Indonesia: pemerintah kini semakin banyak mengandalkan tenaga PPPK untuk mengisi kebutuhan birokrasi.
Dari perspektif pemerintah, wacana peralihan PPPK ke PNS lahir dari semangat kesetaraan dan efisiensi. Banyak PPPK yang sudah puluhan tahun mengabdi di sekolah, rumah sakit, dan lembaga publik, namun masih memiliki status berbeda dari PNS.
Melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN, pemerintah menegaskan pentingnya kesetaraan hak, kewajiban, dan perlindungan bagi seluruh ASN, baik PNS maupun PPPK.
Selain itu, dua sistem kepegawaian dinilai tidak efisien. Dengan menyederhanakan status ASN, birokrasi diharapkan menjadi lebih ramping, terukur, dan produktif.
Meski demikian, kekhawatiran publik bukan tanpa dasar. Moratorium CPNS 2014–2018 meninggalkan jejak trauma bagi banyak lulusan baru. Selama empat tahun tanpa rekrutmen CPNS, jutaan pencari kerja kehilangan kesempatan masuk ke sektor publik dan harus mencari alternatif di sektor swasta atau informal.
Jika kebijakan peralihan PPPK ke PNS menyebabkan jeda panjang rekrutmen CPNS, sejarah itu bisa berulang.
Selain itu, peralihan status besar-besaran juga menimbulkan konsekuensi fiskal yang signifikan. Tahun 2024, belanja pegawai menelan lebih dari 20% APBN nasional, dan pengangkatan PPPK menjadi PNS akan menambah beban pensiun dan tunjangan yang harus dikelola negara dalam jangka panjang.
Bagi PPPK, isu peralihan ini tentu membawa harapan. Mereka yang sudah bekerja dan mengabdi penuh waktu juga patut dihargai, dengan pengakuan persamaan derajat.
Namun di sisi lain, calon peserta CPNS merasakan hal sebaliknya, menimbulkan khawatiran jika kesempatan mereka tersisih oleh sistem sehingga pengangkatan CPNS di tiadakan untuk beberapa tahun kedepan.
Kedua suara ini menunjukkan bahwa kebijakan publik, betapapun baik tujuannya, harus tetap memperhatikan keseimbangan dampak sosialnya.
Agar kebijakan ini tidak menimbulkan gejolak sosial, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan pemerintah:
Pemerintah perlu menjelaskan secara terbuka rencana dan dampak peralihan PPPK ke PNS agar tidak menimbulkan spekulasi.
Tetap buka jalur CPNS terbatas setiap tahun untuk menjaga peluang bagi generasi baru yang ingin mengabdi.
Memastikan kemampuan APBN dan APBD sanggup menanggung beban pensiun dan tunjangan baru.
Kebijakan peralihan PPPK ke PNS bisa menjadi tonggak reformasi ASN yang lebih adil dan manusiawi. Namun, pemerintah harus memastikan bahwa upaya menciptakan kesetaraan tidak berujung pada penutupan kesempatan.
Birokrasi yang sehat adalah birokrasi yang memberi ruang bagi regenerasi dan meritokrasi. Kesetaraan harus berjalan seiring dengan keterbukaan kesempatan bagi semua warga negara untuk mengabdi.
Sebab pada akhirnya, membangun Indonesia bukan hanya soal status pegawai, tetapi tentang keadilan, profesionalisme, dan masa depan generasi penerus bangsa.
Aceh Utara, Selasa 21 Oktober 2025