Home / OPINI

Kamis, 23 Oktober 2025 - 17:57 WIB

Ketika Pemerintah di Persimpangan Antara Pengabdian dan Krisis Meritokrasi ASN

Oleh : Endang Kusmadi, Pemerhati kebijakan publik, Jurnalis dan Penggerak Literasi

OPINI – Nasib Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) kembali menjadi bahan perdebatan hangat di tengah pembahasan revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang masuk dalam Prolegnas 2025. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: ke mana arah kebijakan negara terhadap jutaan abdi publik non-PNS ini akan dibawa menuju kepastian atau kembali ke ketidakjelasan?

Di satu sisi, muncul wacana agar PPPK dijadikan pegawai paruh waktu, sementara di sisi lain, ada desakan agar mereka langsung diangkat menjadi PNS tanpa seleksi ulang. Dua gagasan yang sama-sama ekstrem ini memperlihatkan satu persoalan utama: negara belum memiliki arah kebijakan yang jelas, konsisten, dan adil terhadap PPPK.

Sejak awal, PPPK dibentuk untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan tenaga profesional di sektor publik, terutama guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh di daerah. Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga 2024 terdapat lebih dari 1,8 juta PPPK di seluruh Indonesia, dengan sekitar 1,1 juta di sektor pendidikan dan 700 ribu di bidang kesehatan serta teknis lainnya.

Mereka bekerja penuh waktu, menjalankan fungsi pelayanan publik layaknya PNS, namun dengan status yang tetap “sementara” tanpa jaminan pensiun dan dengan kontrak yang harus diperpanjang secara berkala.

Kini, mereka dihadapkan pada dua ekstrem kebijakan: diturunkan menjadi pegawai paruh waktu atau diangkat otomatis menjadi PNS. Keduanya sama-sama bermasalah satu mengurangi martabat, yang lain mengabaikan prinsip keadilan dan meritokrasi.

Baca Juga  KUTUK ZIONIS ISRAEL, KUTUK PT. KAI

Rencana menjadikan PPPK sebagai pegawai paruh waktu jelas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang guru yang mengajar setiap hari, tenaga medis yang berjaga 24 jam, atau penyuluh yang rutin turun ke desa disebut “paruh waktu”?
Kebijakan semacam ini tidak hanya berpotensi menurunkan semangat kerja dan kualitas pelayanan publik, tetapi juga merendahkan profesionalisme ASN di lapangan.

PPPK selama ini menjadi tulang punggung pelayanan publik di daerah, terutama di wilayah yang kekurangan tenaga PNS. Menurunkan status mereka berarti mengabaikan nilai pengabdian dan komitmen terhadap pelayanan masyarakat.
Negara seharusnya memperkuat posisi PPPK melalui kesetaraan hak dan fasilitas, bukan mempersempitnya melalui kebijakan kontrak parsial yang merugikan.

Namun di sisi lain, gagasan mengangkat seluruh PPPK secara otomatis menjadi PNS juga menimbulkan kegelisahan publik.
Langkah itu dinilai berpotensi melanggar asas meritokrasi, yang menjadi pilar utama reformasi birokrasi. Setiap jabatan publik seharusnya diisi melalui seleksi terbuka, transparan, dan berbasis kinerja, bukan lewat pengangkatan massal tanpa evaluasi.

Jika dilakukan tanpa kriteria dan perencanaan yang matang, kebijakan ini dapat mencederai integritas sistem seleksi ASN, menimbulkan beban fiskal besar dari sisi gaji, tunjangan, dan pensiun, serta menutup peluang generasi baru untuk ikut bersaing dalam seleksi CPNS secara adil.

Dua wacana ekstrem ini sejatinya menunjukkan satu hal yang sama: ketidak konsistenan pemerintah dalam membangun sistem ASN yang profesional dan berkeadilan. Jika PPPK terus diperlakukan sebagai tenaga kontrak tanpa kepastian, mereka akan kehilangan motivasi. Namun jika diangkat otomatis tanpa evaluasi kinerja, sistem ASN menjadi tidak kredibel.
Inilah wajah kebijakan “setengah hati”, di mana negara tampak bimbang antara efisiensi anggaran dan penghargaan terhadap pengabdian.

Baca Juga  Seleksi PPPK Tahap 2 Tidak Ada Passing Grade Resmi : Cek Sertifikat Hasil Ujian PPPK Disini

Daripada mengedepankan kebijakan populis, pemerintah dan DPR seharusnya menyusun mekanisme transisi yang terukur dan transparan, antara lain:

1. Alih status berbasis masa kerja, evaluasi kinerja, dan kebutuhan formasi riil, bukan janji politik.

2. Penyetaraan hak dan fasilitas dasar agar PPPK tidak lagi termarjinalkan dibanding PNS, termasuk dalam hal jaminan sosial dan jenjang karier.

3. Konsolidasi data ASN nasional agar distribusi pegawai sesuai kebutuhan pelayanan publik dan tidak terjadi penumpukan di satu sektor.

Kebijakan berbasis merit dan data jauh lebih adil daripada janji emosional yang justru merusak kepercayaan publik.

Kisruh PPPK bukan sekadar soal status administratif, melainkan soal pengakuan terhadap pengabdian dan arah kebijakan negara terhadap aparatur publik. Menjadikan mereka paruh waktu berarti mengabaikan pengabdian. Mengangkat mereka otomatis menjadi PNS berarti mengabaikan meritokrasi.

Negara harus berhenti bermain di antara dua kutub ekstrem ini dan mulai menegakkan prinsip keadilan yang berpijak pada kerja keras, profesionalisme, dan tanggung jawab publik. Pada akhirnya, reformasi birokrasi sejati bukan diukur dari siapa yang diangkat, tetapi dari bagaimana negara memperlakukan mereka yang mengabdi.

Aceh Utara, Kamis 23 Oktober 2025

Share :

Baca Juga

OPINI

Etika yang Tersisih di Spanduk Pemerintah Aceh Timur : Lupa atau Sengaja Dilupakan?

OPINI

Rapat Penting Revisi UUPA : Dimana Suara Perempuan Aceh?

OPINI

Antara Harapan dan Kekhawatiran di Tengah Isu Peralihan PPPK ke PNS

OPINI

Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Desak Reformasi Polri?

OPINI

Islam Melarang Kekerasan: Jadilah Siswa yang Santun dan Amanah

OPINI

Membangun Kesadaran Kolektif: Mengeluarkan Literasi dari Ruang Seminar

OPINI

Indonesia Harus Berani Melawan Hegemoni Platform Global

OPINI

Kuah Tuhee Menjadi Menu dalam Menyusun Politik Desa