Home / OPINI

Rabu, 22 Oktober 2025 - 20:07 WIB

Etika yang Tersisih di Spanduk Pemerintah Aceh Timur : Lupa atau Sengaja Dilupakan?

Oleh: [Bang Am] Pemerhati kebijakan Pemerintahan dan Pegiat Media online

OPINI – Kejelasan simbol dan transparansi dalam pemerintahan bukan hanya soal teknis, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap etika dan kepercayaan publik. Sebuah peristiwa kecil di Aceh Timur baru-baru ini menjadi cermin bagaimana nilai-nilai itu bisa tersisih dalam hal yang tampak sepele, bahkan dalam selembar spanduk.

Peringatan Hari Santri Nasional di Aceh Timur sejatinya menjadi momentum mempererat silaturahmi antara pemerintah daerah dan masyarakat, terutama kalangan pesantren yang selama ini menjadi pilar pendidikan keagamaan di Tanah Serambi Mekkah. Namun suasana kebersamaan itu mendadak terusik oleh hal sederhana yang sarat makna: spanduk resmi acara tidak mencantumkan nama dan foto Wakil Bupati Aceh Timur, padahal kegiatan tersebut bersifat resmi dan diselenggarakan oleh pemerintah daerah.

Kejadian ini menimbulkan tanda tanya di kalangan masyarakat. Beberapa warga bahkan menyuarakan keheranannya di media sosial, mempertanyakan alasan absennya simbol wakil kepala daerah dalam publikasi resmi pemerintah. Ada yang menganggapnya sekadar kelalaian teknis, namun tidak sedikit pula yang menilai hal itu sebagai bentuk pengabaian terhadap etika birokrasi dan rasa saling menghargai antar pejabat.

Padahal, secara etika pemerintahan, kepala daerah dan wakilnya merupakan satu kesatuan kepemimpinan. Keduanya dipilih rakyat untuk menjalankan amanah bersama. Menampilkan hanya satu unsur dalam kegiatan resmi dapat menimbulkan kesan adanya jarak, bahkan disharmoni, di tubuh pemerintahan itu sendiri.

Baca Juga  Pisang Sale Sudah Tercatat di Inventarisasi Negara

Peristiwa ini memberi pelajaran penting bahwa etika birokrasi tidak hanya tercermin dalam kebijakan besar atau pidato resmi, tetapi juga dalam hal-hal simbolik seperti ini. Sebuah spanduk, baliho, atau undangan resmi sesungguhnya adalah cermin moral dan komunikasi politik. Ia memperlihatkan bagaimana pemerintah memandang kebersamaan dan menghargai rekan sejawatnya.

Ketika simbol wakil kepala daerah absen, publik pun berhak bertanya:

“Apakah ini sekadar lupa, atau sengaja dilupakan?”

Pertanyaan ini bukan tanpa alasan. Di tengah meningkatnya kesadaran publik akan transparansi dan akuntabilitas, setiap detail kecil dalam komunikasi pemerintahan kini mendapat sorotan tajam. Masyarakat tidak lagi pasif. Mereka membaca tanda, menafsirkan simbol, dan menilai sikap pejabat dari hal-hal yang tampak sederhana.

Dalam konteks Hari Santri Nasional, ketidakhadiran simbol wakil bupati dalam spanduk resmi terasa ironis. Hari Santri sejatinya merupakan momentum kebersamaan, penghormatan terhadap peran ulama, serta ajang memperkuat nilai kejujuran dan kesederhanaan. Maka, ketika dalam momentum suci seperti ini justru muncul kesan eksklusivitas dan ketidakterbukaan, makna perayaan itu menjadi kabur dan kehilangan ruh kebersamaannya.

Dalam tata kelola pemerintahan yang beretika, keadilan simbolik sangat penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Rakyat menaruh harapan besar bahwa para pemimpinnya dapat tampil kompak, saling menghormati, dan bekerja dalam satu semangat pengabdian. Jika dari hal kecil saja tampak ketimpangan representasi, bagaimana publik bisa percaya bahwa transparansi benar-benar dijalankan dalam urusan yang lebih besar?

Baca Juga  Kemenangan Mualem Milik Siapa?

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Timur perlu menjadikan peristiwa ini sebagai cermin perbaikan bersama. Di era digital dan keterbukaan informasi, masyarakat semakin peka terhadap simbol, gestur, dan bahasa visual pejabat publik. Maka setiap bentuk komunikasi pemerintah mulai dari desain spanduk, penyebutan pejabat, hingga susunan acara harus mencerminkan semangat kolegialitas, profesionalisme, dan keterbukaan.

Transparansi sejati tidak hanya berbicara tentang laporan keuangan yang rapi, tetapi juga tentang cara pemerintah menghormati setiap unsur dalam kepemimpinan itu sendiri. Etika bukan formalitas, melainkan fondasi moral yang menjaga harmoni, integritas, dan kepercayaan publik.

Akhirnya, dari sebuah spanduk sederhana, kita belajar bahwa etika pemerintahan tidak diukur dari besar kecilnya kebijakan, melainkan dari konsistensi sikap dan ketulusan menghargai peran orang lain.

Karena sering kali, hal yang tampak sepele justru mengungkap jati diri kepemimpinan, apakah ia benar-benar melayani, atau hanya pandai berpura-pura bersama.

Aceh Timur, 22 Oktober 2025

Share :

Baca Juga

OPINI

Ketika Pemerintah di Persimpangan Antara Pengabdian dan Krisis Meritokrasi ASN

OPINI

Rapat Penting Revisi UUPA : Dimana Suara Perempuan Aceh?

OPINI

Antara Harapan dan Kekhawatiran di Tengah Isu Peralihan PPPK ke PNS

OPINI

Kenapa Sejumlah Pensiunan TNI Bersemangat Desak Reformasi Polri?

OPINI

Islam Melarang Kekerasan: Jadilah Siswa yang Santun dan Amanah

OPINI

Membangun Kesadaran Kolektif: Mengeluarkan Literasi dari Ruang Seminar

OPINI

Indonesia Harus Berani Melawan Hegemoni Platform Global

OPINI

Kuah Tuhee Menjadi Menu dalam Menyusun Politik Desa