Penulis : Tim Gertasi Kalimantan Barat
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa : 9)
Syarikat Islam, Pelopor Pergerakan Nasional Bangsa Indonesia
Syarikat Dagang Islam berdiri 16 Oktober 1905 dari namanya jelas sebuah pergerakan di bidang ekonomi, juga merupakan cikal bakal pergerakan perlawanan tanpa mengangkat senjata terhadap sistem pemerintahan kolonial Hindia-Belanda yang lebih memberikan kekuasaan kepada bangsa Eropa dan Asia Timur dalam hal persaingan dagang dan dan penguasaan akses-akses ekonomi di Nusantara. Melalui SDI, Haji Samanhudi (1858 – 1956) meletakkan embrio pergerakan nasional Bangsa Indonesia, yang sepenuhnya menyadari bahwa kekuatan ekonomi sebagai prasarana yang memungkinkan segala aktivitas pergerakan bisa berjalan dengan baik, tidak bisa dikesampingkan untuk membangun kekuatan bidang lain, termasuk pendidikan, sosial kemasyarakatan, dan politik.
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya.”
“Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia.”
Arah pergerakan SDI untuk melawan dominasi pemerintah kolonialsemakin jelas, setelah bertransformasi menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1912, yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto. Tentu saja pemerintah Hinda Belanda tidak menyukai pergerakan SI, walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tetapi dalam kegiatannya SI menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Pada waktu SI mengajukan diri sebagai Badan Hukum, awalnya Gubernur Jendral Idenburg menolak, badan Hukum hanya diberikan pada SI lokal. Namun seiring dengan perubahan waktu, akhirnya SI pusat diberi pengakuan sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Di tahun yang sama, SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia.
“Setinggi-tinggi ilmu, se murni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” (HOS Tjokroaminoto). Walaupun SI bukan organisasi yang pertama kali didirikan (secara formal) di Nusantara, namun Sarekat Islam merupakan organisasi formal pertama yang mengakomodir semua lapisan di wilayah nusantara. Hal tersebut yang menjadikan beberapa tokoh pergerakan nasional keluar dari Budi Oetomo (yang lebih dahulu mendapatkan pengakuan badan hukum dari pemerintah kolonial), diantaranya seperti Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara. Selanjutnya karena perkembangan politik dan sosial SI bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang telah beberapa kali berganti nama yaitu Central Sarekat Islam (disingkat CSI) tahun 1916, Partai Sarekat Islam (PSI) tahun 1920, Partai Sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) tahun 1923, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1929, Syarikat Islam (SI) tahun 1973 karena keluar dari Majelis Tahkim ke-33 tahun 1972 di Majalaya, dan pada Majlis Tahkim (kongres nasional) ke-35 di Garut tahun 2003, namanya diganti menjadi Syarikat Islam (disingkat SI).
Sejak kongres pertama di Yogyakarta pada 3-5 Oktober 1908, dimana pada saat itu Dokter Tjipto Mangunkusumo sudah menjadi dokter pribumi di Demak, dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi dan untuk masyarakat Jawa lainnya, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda. Ia mengusulkan lebih lanjut agar Boedi Oetomo mengorganisasikan diri secara politik untuk meningkatkan kepentingan-kepentingannya. Namun usul itu ditolak oleh kongres. Karena kekecewaan terhadap Boedi Oetomo yang berpikir sempit dan hanya bergerak untuk kepentingan priyayi Jawa, Tjipto mengundurkan diri yang kemudian bergabung dengan Sarekat Islam.
Peristiwa keluarnya Tjipto terjadi saat ia menjabat sebagai Komisaris Dewan Perkumpulan. Pada rapat pengurus besar tanggal 9 September 1909 di Yogyakarta, Tjipto menyampaikan usul untuk memperluas keanggotaan untuk mengikutsertakan Indiers atau orang Indo yang lahir, tinggal dan akan mati di Hindia Belanda. Usul ini mendapatkan penolakan dari Radjiman Wedyodiningrat, sehingga menyebabkan perdebatan yang sengit di antara mereka. Pada akhirnya usul Tjipto ditolak, sehingga ia mengundurkan diri dari jabatan serta keanggotaanya.tersebut, eksistensi dan pergerakan Syarikat Islam yang masih ada dan tetap bertahan hingga sekarang disebut Syarikat Islam Indonesia.
Sangat disayangkan setelah kemerdekaan, baik orde lama, orde baru, dan pasca reformasi, kontribusi SI tampak semakin berkurang dalam mewarnai pembangunan nasional – misalnya dibandingkan dengan NU atau Muhammadiyah – terlebih jika dikaitkan dengan masa keemasan SI sebagai organisasi perintis pergerakan kemerdekaan nasional (Pada tahun 1916 jumlahanggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan Budi Oetomo pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang). Faktor utama memudarnya SI yaitu perpecahan di dalam tubuh SI, mulai dari masuknya faham komunisme sampai dengan perbedaan orientasi organisasi dalam berpolitik. Perpecahan itu melemahkan PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu 1955 PSII dijadikan peserta dan mendapatkan 8 (delapan) kursi parlemen. Kesudahan pada Pemilu 1971 di zaman Orde Baru, PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali dijadikan peserta bersama sembilan partai politik lainnya dan sukses mendudukkan wakilnya di DPRRI sebanyak 12 (dua belas orang).
Namun perlu digarisbawahi, walaupun sempat jatuh bangun dalam sebagai sebuah organisasi, SI telah terbukti sebagai organisasi pergerakan paling tua – dan masih hidup secara nyata – di Indonesia (jika merujuk pada tahun perubahan SDI menjadi SI, maka tahun 2022 SI berusia 110 tahun). Hal tersebut membuktikan SI mempunyai “ruh organiasi” yang sangat kuat, dengan kata lain, potensi SI untuk mengulangi kebesarannya – setidaknya lebih mewarnai dalam pembangunan nasional – merupakan hal yang betul-betul realistis, walaupun tidak tepat dikatakan sebagai upaya yang gampang. Apabila merujuk pada sejarah (kembali kepada khittah), besarnya SI karenakan pergerakannya yang bersifat frontal, bukan “kooperatif” (ciri khas yang yang sangat membedakan SI dengan Budi Oetomo pada zaman yang sama). Tentu saja pada saat ini tidak dalam pengertian melawan pemerintah (seperti halnya pemerintah kolonial), namun semangat perjuangan, yang lebih identik dengan keberanian “di luar zona nyaman”, harus kembali menjadi ciri khas SI, yang pada masa ini lebih relevan dilakukan di bidang ekonomi.
Gertasi : Penerus Estafet Semangat SDI
Sebagai sebuah organsisasi modern, SI sudah memiliki organ-organ atau Badan Otonom yang mempunyai misi dan program kerja sesuai tujuan pembentukannya masing-masing. Diantara organ yang sangat strategis dimiliki SI – dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi umat – adalah Gerakan Tani Sarekat Islam ( Gertasi ). Tentu saja tanggung jawab Gertasi tidak menegasikan pentingnya kontribusi organ-organ lain dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, dan sosial kemasyarakatan. Namun sebagai sebuah organ yang telah “melabeli diri” sebagai representasi perjuangan di dalam duniapertanian, peternakan, kehutanan, dan kelautan di tengah masyarakat Indonesia, Gertasi lebih diuntungkan dari fakta-fakta sebagai berikut :
– Potensi keanggotaan yang sangat besar, hal ini sesuai dengan segmen keanggotaan yang merupakan mata pencaharian dengan persentase tertinggi di Indonesia.
– Pertanian merupakan sektor penopang terbesar kedua bagi perekonomian Indonesia, berkontribusi sebesar 13,28% terhadap PDB nasional.
– Selama pandemi, peran sektor pertanian di Indonesia cukup signifikan. Pasalnya, sektor pertanian berhasil meningkatkan pertumbuhan PDB sektor pertanian sekitar 2,19% dibandingkan tahun sebelumnya.
Selain sifatnya yang strategis dan vital, sektor pertanian merupakan sektor yang perlu secepatnya ditindaklanjuti, karena tidak seperti sektor-sektor ekonomi lain (misalnya otomotif, consumer goods, property, dan lain sebagainya) – yang sudah hampir sepenuhnya didominasi oleh korporasi besardan perusahaan PMA – peranan pelaku usaha kecil dan menengah di sektor pertanian masih “cukup mengimbangi” dominasi pelaku usaha korporasi besaratau PMA. Hal ini sesuai dengan semangat awal SDI untuk membangun perekonomian “masyarakat kebanyakan” di Nusantara. Selain itu perlu diwaspadai, mekanisme pasar dan perkembangan ekonomi global akan terus mengarah pada monopoli dan penguasaan akses-akses ekonomi oleh korporasikorporasi besar, tidak terkecuali sektor pertanian.
Perlu dipahami, mindset pelaku usaha pertanian sekarang lebih menerima pembuktian pragrmatis atau visual daripada arahan-arahan yang bersifat teoritis atau konseptual. Sebagai contoh program intensifikasi padi hibrida – yang pada pengkajian akademis dan riset-riset pertanian tidak diragukan keberhasilannya – masih lambat dan hingga sekarang baru mencapai sekitar 0,6 juta ha10 atau masih sekitar 6 persen dari total luas areal padi nasional. Namun tingkat penerimaan yang berbeda bisa dilihat pada kebijakan penetapan harga jagung hibrida oleh pemerintah provinsi Gorontalo (pada masa Gubernur Fadel Muhammad), hasil panen jagung hibrida dilindungi melalui Surat Keputusan Gubernur tahun 2002, kepastian pasar merupakan manfaat yang langsung dirasakan petani secara empiris betul-betul terbukti meningkatkan produksi jagung hibrida dari 118.181 Ton pada tahun 2000 menjadi 571.936 Ton pada tahun 2007.
Berkaca dari tipikal pelaku usaha pertanian sebagaimana diatas, penting bagi gertasi merumuskan langkah-langkah yang riil dan solutif. Fakta di lapangan menunjukkan pembinaan pertanian yang selama ini berjalan – baik oleh PPL, konsultan swasta, atau tenaga marketing produk pertanian – lebih berorientasi peningkatan produksi, namun minim memberikan solusi pasar. Sehingga tidak jarang ditemui kegagalan usaha tani bukan dari aspek budidaya, melainkan hasil panen yang tidak bisa dijual dengan harga layak, bahkan tidak bisa dijual sama sekali. Kompetensi Gertasi diuji melalui kemampuan memberikan solusi pemasaran hasil panen yang kompetitif. Gertasi tetap mengupayakan aksesakses informasi pasar pertanian, namun perlu digarisbawahi perkembangan pasar pertanian semakin mengglobal. Apabila pemasaran hasil pertanian sepenuhnya menggantungkan pasar lokal maka hal tersebut bukan merupakan solusi bagi petani yang harus berkompetisi dengan sesama produsen lokal,bahkan lebih parah “berkompetisi dengan pemerintah” yang terkadang memenuhi pasar nasional dengan produk impor.
Sinergi Gertasi Dan SI Dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat
Kebijakan yang pro-petani dalam negeri serta akses pasar luar negeri (ekspor), dua hal tersebut merupakan solusi yang betul-betul dibutuhkan jika Gertasi ingin lebih berkontribusi aktif dalam peningkatan taraf hidup pelaku usaha pertanian kecil dan menengah. Namun kedua hal tersebut merupakan domain kompetensi induk organisasi yaitu Sarekat Islam. Kepengurusan DPP Sarekat Islam yang terdiri atas tokoh-tokoh nasional papan atas – baik dari kalangan politisi maupun pengusaha – misalnya Dr. H. Hamdan Zoelva, S.H., M.H. (Presiden Lajnah Tanfidziyah) dan Dr. H. Rachmat Gobel (WakilPresiden) tentunya sangat kompeten untuk mempengaruhi kebijakan maupun memberikan akses pasar ekspor produk hasil pertanian. Apabila terbangun sinergi antara Gertasi (identifikasi dan pemetaan potensi hasil pertanian tiap daerah) dan induk Organisasi SI (dalam memberikan akses pasar ekspor dan pengendalian impor hasil pertanian) maka rantai niaga pertanian akan menjadi kekuatan utama SI dalam untuk melahirkan kembali semangat yang sama sekitar 1 abad yang lalu.
Perlu difahami sedari awal langkah-langkah seperti diatas bukanlah tanpa hambatan, potensi benturan kepentingan tetap akan ada, terutama dari pihak-pihak yang selama ini mengambil keuntungan dari kekurang beruntungan pelaku usaha pertanian kecil dan menengah. Namun juga perlu diingat kembali, keberanian berjuang di luar zona nyaman merupakan ciri khas yang justru membesarkan SI dan membedakan SI dengan organisasi lain pada masa-masa awal pergerakan nasional. Keberpihakan terhadap perekonomianumat – selama tidak bertentangan Pancasila dan UUD’45 – harus ada dan nyata, tidak hanya dalam visi dan misi, namun juga dalam program kerja yang terealisasi. SI tidak selayaknya menghindari terlibat langsung dalam persaingan(sehat) dalam perekonomian nasional, dengan mengatasnamakan netralitas, apalagi jika ada kepentingan pribadi. Disamping menjadi motor ekonomi umat, SI juga harus mulai menegaskan peran sertanya dalam perpolitikan praktis nasional. Politik bebas aktif tidak serta merta harus menjadikan SI sebagai koalisi atau oposisi pemerintahan yang sedang berjalan. Namun SI harus mempunyai standar yang tegas dalam menilai kebijakan pemerintah apakah pro-rakyat atau tidak berpihak pada rakyat. Sikap yang fair dan tegas, yaitu kemampuan mendukung program-program pemerintah yang pro-rakyat, dan keberanian mengkritisi kebijakan yang merugikan rakyat harus menjadi ciri khas organisasi jika SI ingin lebih diperhitungkan dalam perpolitikan nasional. SI juga perlu menegaskan kembali posisi SI dalam mengawali pergerakan kemerdekaan nasional dalam pengertian sesungguhnya, yang meliputi seluruh wilayah Hindia Belanda dan irlander (pada saat itu), dan mengcounter upaya-upaya mereduksi kontribusi semangat keIslaman – yang saat itu diwakili oleh SI – dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.