PILKADA ACEH 2024, BUKANLAH AJANG UNTUK MELAHIRKAN "ORANG KAYA BARU" - Media Literasi

PILKADA ACEH 2024, BUKANLAH AJANG UNTUK MELAHIRKAN “ORANG KAYA BARU”

Oleh :
T.M. Jamil
Associate Profesor
Akademisi dan Pengamat Politik, USK, Banda Aceh

ENTAH mengapa – Sebagai pengajar Mata Kuliah Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di berbagai perguruan tinggi, saya hampir selalu ditanya oleh mahasiswa, “Pak TM, mengapa politik itu acap kali disebut kotor?”

Haahhh … Saya terkesima dan terasa terpojok juga dengan pertanyaan itu. Tapi sudahlah, biasa saja itu terjadi, ketika kita menjadi pendidik. Bagi saya pribadi, ini sebuah pertanyaan yang sangat tak mudah untuk dijawab, tapi sangat mudah untuk dirasakan oleh siapapun. Apalagi sekarang arena politik menjelma menjadi panggung sandiwara yang berjalan hampir tanpa nilai, etika dan norma. Untuk menjawab pertanyaan mahasiswa saya di atas, kita harus memahami terlebih dahulu esensi dasar dari politik dan praktek itu sendiri. Laswell mengatakan bahwa politik adalah ”Who gets what, when and How”. Politik adalah siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana. Siapa menunjukkan aktor, apa menunjukkan tujuan, kapan menunjukan momentum dan bagaimana menunjukkan cara. Agar itu semua bermanfaat bagi masing-masing “pemain”.

Nah, tujuan Politik : Menurut saya, Ada dua sebab mengapa politik bisa dirasakan kotor. Pertama, tujuan dari politik itu sendiri. Politik telah lama mengalami pendangkalan tujuan, pragmatis, menjadi hanya sekedar untuk mendapatkan kekuasaan dan memperkaya diri, keluarga, masyarakat sekampung dengannya atau kelompoknya. Bahkan, lebih dari sekedar mendapatkan kekuasaan, politik justru telah tercemari logika dagang dan komersial. Tujuan berpolitik untuk mendapatkan kekayaan. Di negara miskin seperti Indonesia (baca : Aceh) logika semacam ini mendapatkan tempatnya karena gaya “ningrat atau bangsawan” para politisi. Bagaimana tidak, menjadi politisi sudah pasti menjadi Orang Kaya Baru (OKB) dengan sejumlah fasilitas dari uang rakyat. Bayangkan saja dengan menjadi anggota DPR, anda akan mendapatkan gaji pokok 10-15 juta/bulan, uang untuk beli pulsa lebih dari 4 juta/bulan, rumah dinas, bayar listrik, pembantu dinas, asisten dan sebagainya. Tujuan para politisi kita berpolitik adalah untuk menjadi orang kaya. Bukti lain dari digunakannya logika dagang adalah maraknya “oknum dech” anggota DPR kita yang berpraktek sebagai calo dan agen proyek. Ada yang menjadi calo katering sampai calo dana bencana alam. Bahkan posisi sebagai anggota DPR digunakan sebagai kesempatan melancong ke luar negeri secara gratis alias abidin (atas biaya dinas). Bukan dirinya saja yang berangkat, bahkan semua anggota keluarga pun diikutsertakan.

Di berbagai daerah juga sudah lama terendus, terungkap praktek calo, agen, dan makelar proyek yang dilakukan oleh ya kita sebut saja dech oknum anggota DPRD. Di eksekutif juga, sudah bukan rahasia, jika posisi sebagai kepala daerah adalah jalan pintas untuk menjadi orang kaya. Maka di suatu daerah anggaran makan minum dihabiskan di rumah makan Pak Gubernur, Pak Bupati atau Pak Walikota.

Pendangkalan tujuan inilah yang membuat wajah politik kita coreng moreng dan bernilai bobrok dan kotor. Padahal seharusnya “kekuasaan” hanyalah “tujuan antara” untuk bisa mewujudkan cita-cita mulia. Hanya menjadi alat untuk kemudian menjadi berbuat yang terbaik bagi masyarakat. Memang, semakin sulit dan langka untuk mendapatkan contoh seperti itu.

Cara berpolitik … Alasan kedua, mengapa politik dikatakan kotor, adalah cara yang digunakan dalam politik adalah cara-cara yang tidak patut. Arena politik adalah arena di mana para kandidat berjanji dan kemudian mengingkarinya. Politik adalah panggung di mana masa depan rakyat ditukar dengan selembar kaos tipis, satu sak beras, 2 kg gula dan uang lima puluh ribu rupiah.

Istilah ”menghalalkan segala cara” nampaknya benar-benar bisa kita saksikan di sekitar kita dalam even pileg dan pilpres tiap masa berjalan. Bahkan oknum kiyai-pun bisa “disewa” untuk menjadi tim sukses. Ada kisah oknum seorang Kiyai yang cuti dari posisinya sebagai ketua MUI, karena menjadi tim sukses seorang calon Bupati. Masya Allah …

Maka menjelang perhelatan pemilihan Gubernur di berbagai daerahpun dengan mudah kita mendapatkan perilaku para elit yang jauh dari etika dan moral bangsa. Lihat saja, jual-beli partai politik yang dilakukan oleh oknum para elit politik. Sebagai satu-satunya kendaraan yang boleh memajukkan kandidat dalam pilkada, kita banyak mendengar elit partai membanderol partainya dengan mahar atau dana partisipasi (apapun istilahnya), mulai 5 – 50 Milyard. Woowww … Itulah sebuah pernyataan yang pernah keluar dari mulutnya seorang menteri di negeri ini… Soal benar atau tidak pernyataan itu, biarlah rakyat sebagai “pemilik kuasa” yang akan menilainya… Jika begini, mungkinkah kita mendapat calon pemimpin yang diinginkan rakyat? Wallahu ‘Aklam…

Lihat saja juga bagaimana partai kehilangan konsistensi dalam menjaring kandidat pilihan. Ada kisah sebuah partai menganulir hasil penjaringan yang dilakukan secara susah payah oleh tim yang dibentuk. Calon yang tersingkir dalam penjaringan malah diajukan menjadi kandidat Gubernur oleh partai tersebut lewat intervensi dari Dewan Pimpinan Pusat. Sungguh tak beretika, jika kita mengacu pada falsafah negara kita yang amat mulia. Saling sikat dan sikut menjadi strategi untuk mewujudkan syahwat dan nafsu untuk yang ingin berkuasa. Astargfirullahal Adhiem.

Etika politik bukan saja tak dihormati. Tapi aturan main dalam penjaringan yang seringkali diabaikan dan dilupakan. Partai politik yang melakukan itu telah menginjak-injak hak politik peserta penjaringan, tidak menghargai hasil kerja tim penjaringan, sekaligus juga telah mengkhianati publik sebagai pemilik suara.

Partai politik memalingkan muka dari konstituennya dan sibuk mencari siapa yang berani memberikan nominal paling besar agar bisa diunggulkan sebagai calon, meski nanti calonnya pada akhirnya “meu sumpom” alias kalah. Bagi makelar politik itu tak penting baginya… Padahal mereka bukan siapa-siapa tanpa konstituen. Menghalalkan segala cara juga ditandai oleh maraknya kampanye terselubung. Hampir semua bakal kandidat mengotori jalan-jalan pelosok di berbagai wilayah dengan spanduk bergambar foto dirinya. Semua event mulai dari Lebaran, Pekan Imunisasi Nasional, Ajang PON, bahkan Festival Rock menjadi ajang kampanye terselubung … Hhhmmm …

Menjelang pilkada juga tiba-tiba saja muncul banyak dermawan yang membagi-bagikan uang, sarung, beras atau semen dan pasir. Celakanya ada kandidat yang membiayai kampanye gelap tersebut dengan uang rakyat dengan alasan sosialisasi kebijakan. Memalukan… Cara berpolitik juga ditunjang oleh era pemilihan langsung yang merupakan era pencitraan. Borjuis bisa berperan sebagai proletar, perampok bisa tampil sebagai dermawan, atau durjana bisa tampil seperti ulama… Astargfirullahal ‘Adhiem.

Citra diri bisa dipesan melalui kerja konsultan atau membayar media massa. Membentuk citra kandidat gubernur/bupati atau walikota tak ubahnya selayaknya membentuk brand sebuah sabun mandi. Arena pertarungan politik telah menjadi dunia imitasi yang penuh kepalsuan, menjadi seperti kata Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara.

Membersihkan Politik… siapa bisa? Maka politik menjadi amat memuakkan masyarakat. Politik oleh masyarakat kecil diterjemahkan sebagai ”pohon duit” dan apa yang dilakukan politisi bukan lagi pembangunan jangka panjang atau jangka pendek tapi ”jang-ka-ku”.

Politik telah menjadi barang yang kotor. Maka jangan salah, jika kemudian akan muncul political distrust yang melahirkan masyarakat anti politik. Masyarakat yang memilih menganut budaya politik apatis. Merasa bahwa tak ada gunanya berpartisipasi dalam dunia politik, ketika partisipasi yang diberikan justru dimanfaatkan untuk kepentingan menggendutkan perut para elit saja.

Tapi apatisme adalah jalan yang justru memudahkan para politisi kotor untuk bergerak. Sikap apatisme malah akan memunculkan otoritarianisme yang semakin menggila. Apatisme itu tak menolong dan tak menyelesaikan masalah. Masyarakat akan semakin terjerembab dalam kesulitan dan keputusasaan. Sebelum apatisme muncul saatnya membenahi berbagai persoalan diatas bersama-sama. Saatnya mengingatkan para politisi bahwa kepemimpinan adalah amanah dan setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban.

Menurut saya, Saatnya para Kiyai, Ustaz dan Ulama untuk menjadi guru yang berdiri di atas semua golongan dan ummat. Jika perlu berani mengeluarkan fatwa haram untuk perbuatan tercela seperti politik uang.

Saatnya bagi kalangan intelektual juga untuk mengajak masyarakat menjadi pemilih rasional yang tak mau dibeli. Tak mudah memang membersihkan kaca bernama politik yang penuh noda. Tapi seperti kata Aa Gym, mulailah dari yang terkecil, mulai dari diri sendiri dan mulailah sekarang juga. Semoga Pilkada Aceh 2024 dapat melahirkan pemimpin yang bermartabat dan menghargai suara rakyat bagaikan suara Tuhan. Wallahu ‘Alam Bissawab.

Banda Aceh, 26 Mei 2024.

Total
0
Shares
Related Posts