Oleh :
T.M. Jamil
Associate Profesor
Ilmuwan Politik
Bapak Presidenku, Yang Terhormat,
Waktu adalah zat yang berada di luar kekuasaan kita. Waktu itu ada bukan karena kita, akan tapi ia bersama kita. Maka kita ada di sini, di dunia ini, dalam suasana yang terus berubah karena pergiliran waktu. Ia terus berjalan dari detik ke detik; dari hari menjadi pekan, dari pekan menjadi bulan, dan dari bulan menjadi tahun. Dan Begitulah seterusnya hingga menjadi zaman yang berperadaban. Kita berada di sini dalam perputaran dan dinamika waktu itu, sebagai upaya untuk mengikhlaskan sebuah kenyataan hidup bahwa betapa kecil kuasa kita sebagai manusia. Pada saat yang sama, dengan rendah hati kita menyadari dengan sungguh-sungguh betapa Maha Kuasanya Allah Swt di atas segala yang kita alami dan rasakan bahkan yang kita rencanakan atau tak pernah kita agendakan. Tak ada yang luput dari takdir dan skenario-Nya.
Bapak Presidenku, Yang Baik Hatinya, Namun demikian, sekalipun waktu, rentang waktu dan proses yang bergulir di dalamnya berada di luar jangkauan kita, selalu ada keharusan bagi kita untuk memberinya sebuah makna. Saat ini adalah kesempatan terbaik bagi kita untuk melakukan sesuatu sebagai bagian dari upaya kita dalam memaknai waktu dan kehidupan itu. Harapannya, dengan demikian kita mampu memberi makna bagi waktu dan kehidupan yang tulus dan tak kenal lelah, bahkan semakin cinta waktu untuk menemani kita.
Bapak Presidenku, Yang Terhormat, Kerja pemberian makna ini sama sekali bukan ikhtiar untuk menunjukkan kegagahan dan kesombongan diri, melainkan untuk memikul amanah dari Sang Kuasa, Allah Swt, secara rendah hati sebagai pengelola dan pemimpin bumi. Karena itu, saya sangat bergembira diberi kesempatan oleh Allah Azza Wajalla untuk memberi makna, dengan menulis surat ini, bagi waktu dan kehidupan.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Sebagai manusia, kita mesti mampu membuat sejarah hidup kita sendiri. Baik untuk diri, keluarga maupun untuk Negara kita. Seperti kata Paulo Fraire, “Seorang manusia adalah yang bisa menentukan sejarahnya sendiri.” Maka sebagai manusia dan sebagai bangsa, kita mesti membuktikan sejarah hidup kita sendiri. Karena kitalah yang merasakannya, maka kita jugalah yang merencanakannya.
Bapak Presiden, Yang Aku Kagumi, Negara dalam banyak sebutannya ; tanah air, tanah tumpah darah, tanah yang pertama menadah kulit kepala kita, adalah sesuatu yang melekat tak terpisah dalam struktur kesadaran rasional dan emosional kita. Tanah, yang dalam konteks ini kita sebut dengan Negara, dalam kesadaran itu adalah satu dari tiga fasilitas eksistensial yang menjadi kerangka dasar membangun kehidupan dan peradabannya; tanah, waktu dan keyakinan. Pada posisi itu, maka Indonesia, atau juga dunia ini seluruhnya, adalah tanah dimana praktek eksistensial kita dipampang.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Bagiku, begitulah mestinya manusia menyadari, bahwa ia diturunkan ke dunia sejak awal sebagai pengemban tugas merealisasikan kehendak-kehendak Sang Kuasa, dalam bentuk kemakmuran di bumi. Dalam konteks bernegara juga begitu. Ia menjadi ‘ruang’ implementasi tugas mulia: peran sosial-politik dan kepemimpinan, dalam batas-batas ‘tempo’ kerja, yang secara mikro kita sebut umur politik dan kekuasaan dan secara makro kita sebut sejarah Negara-bangsa, berdasarkan ‘program’ kerja yang selanjutnya kita sebut sebagai konstitusi atau perundang-undangan. Di situ, baik sebagai pemimpin maupun rakyat, kita bisa memainkan peran ganda; sebagai pelaku dan obyek kepelakuan sekaligus.
Bapak Presidenku, Yang Terhormat, Di sini ada kesatuan dan integralitas yang harmonis; saat mana kekuatan yang berbasis pada Sang Kuasa menjadi mainstream, dengannya akan dengan mudah dibangun jaringan sosial dan politik antara manusia berupa kekuasaan (elit) dan rakyat (alit) dengan Negara dan proses demokratisasi yang sedang berlaku di dalamnya. Inilah yang dalam terminologi manusia modern disebut sebagai historical society (masyarakat sejarah) ; yaitu jenis atau tipe masyarakat baru yang memiliki tingkat kesadaran struktural yang tinggi untuk merekayasa kehidupan sosial dan membangun peradaban Negara – bangsanya. Atau sejenis masyarakat baru yang menyudahi fase primitive society (masyarakat primitif). Itulah jenis atau tipe manusia yang mesti lahir dari rahim para wanita terbaik di negeri ini. Barakallah, Insya Allah, Aamin Yaa Rabbal Alamin.
Bapak Presidenku, Yang Tercinta, Masyarakat akan disebut primitif jika masyarakat tidak memiliki kesadaran strukural yang bertumpu pada ideologi untuk membangun jaringan hubungan sosial-politiknya. Apalagi, yang terjadi adalah, bahwa jaringan hubungan sosial itu dibentuk berdasarkan ikatan ketanahan (faktor geografis dan ras), dan kepentingan elit tertentu, baik secara politik maupun ekonomi dan sejenisnya. Saya meyakini bahwa dari ikatan inilah, pada proses demokratisasi di masa lalu, Orde Lama dan Orde Baru, bisa jadi berulang kembali di masa sekarang dan masa depan, terbentuk kekuatan dengan ideologi pragmatisnya yang melahirkan apa yang kita sebut sebagai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dan segera hentikan budaya mementingkan keluarga sendiri dengan berbungkus demi negara.
Pada prakteknya, konstitusi, aturan dan norma kehidupan baik buruk atau benar salah bukan menjadi faktor utama dalam menentukan arah politik dan kepemimpinan, bahkan ia hanya menjadi faktor sekunder. Apa yang terjadi kemudian adalah umur kesengsaraan rakyat semakin panjang, carut-marut cara kita bernegara semakin lebar dan proses pembangunan yang diperankan oleh Negara semakin tak menentu. Marilah kita memulai dengan sebuah perubahan, jika kita ingin bangsa ini menjadi bangsa yang besar dan bermartabat.
Bapak Presidenku, Yang Aku Kagumi, Bahkan pada sisi tertentu, demokratisasi kemudian dipahami sebagai pergumulan antara harapan dan kekecewaan, kabar baik dan kabar buruk, masa depan yang benderang dan masa lampau yang gulita. Fase awal demokratisasi – 1998-2003, 2004-2009, 2014-2019, 2019-2024, dstnya – hingga kini 2024—membuktikan betapa harapan, kabar baik, dan masa depan benderang tak selalu menjadi pemenang.
Ia tak hanya menghasilkan para pemenang dan penikmat, tapi juga para pecundang dan korban. Bukan saja pemberi janji, tapi juga kepalsuan yang menyerta di dalamnya. Astargfirullahal Adhiem. Mungkin dan Semoga Bapak tidak seperti itu, tapi saya yakin Bapak menyaksikan semuanya; dan karenanya, sebagai kepala Negara, Bapak bersama kami rakyatmu punya tanggung jawab konstitusional dan moral untuk menuntaskan semua itu.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Terus terang saja, bagi sebagian elemen bangsa yang sering berdiskusi dan sempat saya ajak untuk diskusi, memahami bahwa hal-hal baik dan indah yang dijanjikan demokratisasi datang terlampau lamban, malu-malu, satu per-satu, sementara hal-hal buruk di-baliknya dan yang semestinya dilawannya justru selalu menyalip, datang lebih cepat, segera dan berombongan. Ia pun jalan panjang, melelahkan dan seolah tak berujung. Nah, ini cukup riskan bagi masa depan bangsa.
Karena itu, jika tak keberatan saya mengusulkan agar Bapak Presidenku, Yang Mulia … meyakinkan dan memberi optimisme kepada publik bahwa sebuah bangsa dan sebagai warga Negara, menghadapi fenomena tersebut dengan putus asa dan patah arang bukanlah sebuah pilihan. Kita harus bangkit dan berjuang. Maka saya berharap kepada Bapak, jangan pernah terpancing dengan pola adu domba antara Bapak dan pembantu-pembantunya yang dilontarkan oleh oknum-oknum tertentu agar Bapak mengambil keputusan yang salah. Jangan pernah terjadi itu, wahai Bapak Presidenku yang dicintai oleh rakyatmu yang maha lemah ini.
Bapak Presidenku, Sebagai sebuah bangsa, kita sudah melewati peristiwa demokrasi beberapa periode. Secara umum kita dapat sederhanakan ke dalam beberapa periode, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Kini Masanya Orde Reformasi. Pada ketiga periode tersebut, Pemilu sebagai salah satu instrumen politik, sudah kita lalui dengan berbagai model dan kendala yang terdapat di dalamnya. Hasilnya juga dirasakan dengan beragam kehangatan. Ada yang puas, dan ada juga yang kecewa. Ada yang menang, dan ada juga yang kalah. Ada yang terlibat mencoblos, dan ada juga yang tidak mencoblos. Semua itu wajib kita hargai dan hormati atas pilihan rakyat yang mencintai bangsa dan negaranya.
Sebagai kepala Negara sekaligus kepala Pemerintahan, Bapak perlu mengingatkan elemen bangsa ini, misalnya dengan : Walau dengan mengelus dada dan mengerutkan dahi, kita perlu memahami perjalanan demokratisasi Negara kita secara jernih dan berhati suci. Mengingat kembali apa yang sudah terjadi pada masa lalu akan lebih elegan jika kita mengambil posisi aktif dan turun tangan. Jangan pernah kita lepas tangan, tapi wajib untuk turun tangan.
Artinya, “pandanglah masa lalu dari masa depan”. Ambillah posisi strategis sebagai warga Negara yang baik; mengambil posisi pelaku bukan sebagai penonton. Sudah bukan saatnya lagi bagi kita mencaci maki masa lalu secara membabi buta. Ambillah sisi-sisi terang di masa lalu, dan segeralah mengesampingkan sisi gelapnya. Saatnya kita hidup di masa kini, dan segera menyongsong masa depan baru, dengan berbagai kendala, tantangan dan persiapan yang ada di dalamnya.
Bapak Presidenku, Yang Baik Hatinya, Lalu, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya? Itulah pertanyaanku untuk Bapak. Sebelum Bapak Presidenku, Yang Mulia … menjawab, Saya ingin mengatakan bahwa kini kita sudah berada di bulan Pebruari, jika normal, menjelang Coblosan 14 Pebruari 2024. Artinya, “Tahun Politik” sudah semakin berakhir. Tanggal Coblosan lsudah di ambang pintu. Tinggal hitungan jari. Sederet peristiwa politik berupa pemungutan suara untuk Pemilu legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan pemungutan suara untuk Presiden dan Wakil Presiden bakal kita lalui bersama. Semoga semua itu bisa kita jalani dengan indah dan damai, jujur, bermartabat serta penuh rasa ukhwah.
Bapak juga mesti kembali mengingatkan elemen bangsa ini, terutama para elit politik dan petinggi Parpol tentang satu hal yang penting. Bahwa Pemilu itu bukanlah tujuan akhir kita. Ia adalah sarana atau kendaraan. Pemilu yang demokratis, berkala, bebas, jujur, adil, dan damai akan percuma manakala tak berhasil memfasilitasi tegaknya keterwakilan, akuntabilitas, dan mandat serta tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh warga Negara yang selalu kita banggakan. Berhentilah untuk Cawe-cawe jika dirimu ingin diharga ketika jabatanmu berakhir.
Bapak Presidenku, Yang Kusayangi, Mungkin Bapak bertanya, mengapa? Begini Pak, menurut sebagian kalangan seperti akademisi, pengamat politik, LSM, aktivis pergerakan, dan kritik dari akademisi dan guru besar dari kampus sebagaimana yang diberitakan di beberapa media massa, bahaya terbesar dari rangkaian Pemilu yang lalu – adalah gagal terfasilitasinya perikehidupan publik yang lebih baik “saat ini” dan “esok”. Bapak perlu “mendengar” soal ini.
Untuk menaklukkannya, jika saya diizinkan dan boleh berpendapat, idel-nya, selain kita berharap penyelenggara Pemilu, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) bisa menunaikan tugasnya secara layak, kita juga menumpukan harapan pada dua pelaku dan elemen penentu terselenggaranya Pemilu : kandidat (Siapapun dia kelak), dan pemilih sebagai penentu nasib bangsa ini di masa depan.
SAYA memahami dan mempercayai bahwa kualitas para kandidat sangat menentukan sukses atau gagalnya Pemilu 2024 yang akan datang dalam menggapai tujuan yang dikejarnya. Inilah “sukses atau gagal seleksi”. Sebab, mereka adalah produk mekanisme seleksi partai dan non-partai (khususnya untuk DPD). Sukses seleksi bersifat elitis, tak melibatkan massa atau pemilih dalam jumlah besar. Tetapi, sukses ini menjadi hulu kepada suksesnya Pemilu.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Coba saja Bapak perhatikan, di hilir, ada mekanisme “seleksi”. Dalam medan pertarungan yang sesungguhnya inilah ratusan ribu “bintang” (kandidat) itu akan ditentukan nasibnya oleh sekitar 200 juta lebih “penentu”, yakni pemilih, rakyat, yang tersebar di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS) di seluruh Indonesia dan luar negeri. Jadi, Bapak perlu mengingatkan warga Negara, termasuk anggota partai dimana Bapak menjadi Dewan Pembina ataupun kader terbaik mereka saat ini, agar mereka bersikap santun dan terhormat. jangan angkuh, egois dan sombong. Karena kesombongan itu selalu berakhir dengan murka-Nya Allah Swt. Na’uzubillahi Min Zhalik.
Bapak Presidenku, Yang Terhormat, Pada akhirnya, terlebih-lebih di tengah rendahnya kualitas para kandidat hasil mekanisme seleksi, peran para pemilih menjadi penting dan sekaligus genting dalam menentukan sukses akhir Pemilu 2024. Maka, daripada kita runyam dalam memikirkan rendahnya kualitas para kandidat, lebih konstruktif bagi kita untuk menjemput 2024 dengan menyiapkan diri masing-masing menjadi pemilih berkualitas dan bertanggung jawab.
Bagaimana Pak? Walaupun Bapak masih bisa (dengan merubah Undang-undang), mau atau tidak mau mencalonkan diri lagi, sebagai Presiden periode ini sekaligus sebagai tokoh bangsa, Bapak tetap memiliki tanggung jawab besar untuk yang terbaik bagi Indonesia masa depan. Itulah pesan dan harapanku padamu yang mulia.
Karena itu, Bapak mesti menyadarkan warga Negara dalam satu pemahaman bahwa ada baiknya kita tak menjadi pemilih cengeng dan kanak-kanak, yang menyalahkan partai politik dan kandidat atas rendahnya kualitas Pemilu secara membabi buta tanpa argumentasi dan persiapan yang matang. Jauh lebih konstruktif, membangun kualitas diri sebagai pemilih dewasa atau, sekalipun pada akhirnya memutuskan untuk tak memilih (baca: mencoblos), kita melakukannya dengan sama dewasanya.
Dalam artian tidak merusak dan mengganggu orang lain untuk menentukan sikap dan hak pilihnya. Hentikan budaya ancam dan menakut-nakuti rakyatnya sendiri. Karena itu bukanlah jiwa yang sehat dalam berbangsa dan bernegara. Jadilah seorang pemimpin yang menang karena prosesnya yang jujur, sehingga Bapak Untuk Menjadi Insan Terhormat.
Bapak Presidenku, Yang Baik, Bagi saya pribadi dan sekaligus sebagai akademisi yang selalu mendidik anak negeri dan bangsa ini, Pemilu 2024 nanti-pun menuntut kita bertransformasi dari supporters politik menjadi voters politik, dari pendukung yang irasional, emosional, dan primordial menjadi pemilih yang kalkulatif, rasional, dan lebih dewasa.
Pemilih semacam ini tak merasa tugasnya usai saat sudah mencontreng dalam bilik suara, melainkan merasa tugasnya sebagai warga Negara justru baru dimulai, dan akan berlanjut setelah Pemilu berlangsung. Ya, dalam kondisi bangsa yang rumit seperti ini, sikap seperti ini menjadi pilihan sikap yang tepat.
Sebagai warga Negara, saya akan berusaha dan mengambil peran : mengajak seluruh warga Negara agar melakukan transformasi diri. Sebuah proses lanjutan dari bentuk transformasi sebelumnya, yakni bertransformasi dari “pemilih” menjadi “penagih janji”. Yaitu pemilih yang berupaya menjaga haknya serta menunaikan kewajibannya atas orang banyak sepanjang waktu. Saya akan menyampaikan kepada mereka bahwa sebagai warga Negara, kita tidak boleh merasa cukup menjadi peserta atau pemilih rasional tanpa diikuti dengan menjadikan diri sebagai warga Negara yang aktif.
Maksudnya, kapasitas kita sebagai warga Negara “yang baik” akan lebih dahsyat ketika setelah proses Pemilu, kita menggunakan hak konstitusi kita untuk menegur, memberi kritik dan masukan bahkan “mengancam” kekuasaan jika tak sejalan dengan kesepakatan atau rambu-rambu demokrasi, tentu saja dengan cara-cara yang beradab. Dengan cara inilah, kita bertransformasi dari supporters menjadi voters, lalu menjadi “para penagih janji”. Dengan begitu, kita akan semakin dewasa dalam bernegara dan mampu menjemput momentum politik – termasuk Pemilu 2024 – dengan senang hati dan optimisme. Begitulah spirit bernegara yang membuat negeri ini bisa tersenyum dan bergembira ria dalam ridha dan bimbinganNya.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Saya bersyukur kepada Sang Maha Kuasa (Allah Swt) karena masih diberi kesempatan untuk mengingatkan sekaligus memprovokasi publik bahwa realitas politik kebangsaan yang pernah kita lalui dan saksikan pada beberapa periode serta yang sekarang sedang kita jalani belumlah se-ideal seperti yang kita inginkan. Mungkin Bapak berbeda pendapat dengan saya, terutama karena saat ini Bapak sebagai pemimpin bangsa.
Bagi saya, itu tak mengapa, mari kita saling menghargai dan menghormati posisi kita masing-masing. Dalam alam demokrasi, berbeda pendapat ibarat pelangi bagi sebuah kehidupan. Semakin banyak warna, maka pelangi itu semakin indah. Asal kita tetap saling menghormati, tidak saling mencaci-maki dan mengutuk. Bukankah kita berbangsa, yang memilih demokrasi, dan mengajarkan kita untuk siap sepakat dalam satu pendapat dan siap beda dengan pendapat yang berbeda?
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Karena itu, dalam konteks membangun masa depan bangsa ini, ada baiknya semua elemen berbicara, melibatkan diri, memberi kritik dan saran, hingga mematangkan diri, baik sebagai penguasa maupun rakyat biasa, agar ketika momentumnya tiba semuanya mampu berkontribusi dengan tulus. Akhirnya, masa depan pembangunan bangsa kita lebih baik dan menghadirkan kemaslahatan yang lebih nyata kepada publik, Negara dan bangsa.
Itu lebih baik daripada saling mencaci maki dan mengutuk tidak karuan dan di luar kewajaran. Janganlah kita berniat untuk memberi maslahat, justru menambah beban sosial dan psikologis bangsa dalam menerjang berbagai problematika. Itu bukanlah jiwa yang suci. Maka Bapak sebagai Presiden yang kami hormati, dibutuhkan sikap, gaya dan cara yang lebih indah dalam merespon setiap gejala dan fenomena yang muncul akhir-akhir ini.
Bapak Presidenku, Yang Terhormat, Saya percaya bahwa negeri ini masih punya harapan. Ia hanya membutuhkan para pahlawan. Namun, sekali lagi, harapan itu kiranya tidak dibubuhi oleh caci maki dan kutukan. Di tengah-tengah ‘kegelapan’ ini yang diperlukan adalah cahaya atau semacam lilin yang memberi penerangan. Karenanya seluruh elemen bangsa mesti diingatkan agar jangan mengutuk kegelapan, cukup saja kita semua membawa sebuah lilin penerang. Betapa bahagianya jadi orang Indonesia jika setiap kita menjadi lilin yang menerangi. Senyumlah negeriku, senyumlah bangsaku!
Bapak Presidenku, Ini adalah kumpulan tulisan-tulisan sederhana. Dengan diksi yang agak tajam, saya memberi kritik seperti ini sebagai upaya mendatangkan cahaya; bagian kecil dari lilin-lilin itu. Ini adalah rintihan harapan di tengah kecemasan yang mendominasi kehidupan publik. Saya belajar mengingatkan elemen bangsa ini bahwa kelangkaan pahlawan tak mesti membunuh kreativitas kita untuk berbicara dan melakukan sesuatu untuk yang terbaik bagi bangsa ini.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Ini juga adalah bukti cintaku kepadamu. Saya belajar mencintai Negeri ini juga Bapak Presidenku, Yang Mulia, dengan sungguh-sungguh. Ibarat elang muda, saya akan pasti kembali. Saya “pergi ke alam kritik”, alam yang sering ditakuti oleh sebagian orang dan sebagai bukti untuk “terus-menerus mencintai Indonesia”. Ya, saya pasti “kembali”. Karenanya, tak perlu ada yang merasa terlukai, termasuk Bapak Presidenku, Yang Mulia. Menurutku, justru nasehat dan renungan politik” seperti ini layak mendapat apresiasi dari seluruh elemen bangsa, terutama para elit yang “kerap” ingkar janji dan rakyat yang kadang lebih doyan dan sering dibodohi.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Lebih dari itu, saya ingin membangun kesadaran kita, baik sebagai penguasa maupun rakyat, bahwa mencintai Indonesia dengan kerja nyata adalah pilihan pendekatan yang selayaknya diambil. Kita mesti menjadi pemain dan bukan penonton, menjadikan warga Negara yang baik sebagai tumpuan, berpikir besar, memulai dari yang kecil dan mengerjakan secara optimal sekarang. Indonesia yang lebih baik hanya akan tumbuh di atas kerja nyata kita bukan caci maki dan kutukan kita.
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Selanjutnya, saya ingin mengajak Bapak Presidenku, Yang Mulia, dan semua elemen bangsa untuk tidak terlalu lama dan bangga dengan setiap peristiwa politik yang menyengsarakan. Kita mesti sadar bahwa kita memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menata masa depan bangsa ini. Spirit itulah yang saya ungkapkan dalam kumpulan tulisan ini. Ya, saya ingin menyampaikan pendapat dengan cara menulis.
Karena saya sangat percaya bahwa generasi baru negeri ini adalah salah satu bagian dari sebagian generasi jenius Indonesia yang memiliki peluang besar menjadi pelaku utama dalam menggerakkan sekaligus menghadirkan perubahan bangsa ini di masa depan. Bukan saja karena responnya yang cepat, analisisnya yang tajam, tapi juga firasat politik dan kepemimpinannya yang khas. Mohon do’anya, agar kami, generasi baru ini, dan anak-anak kami kelak lebih baik dari apa yang sudah diperankan oleh generasi sebelumnya, termasuk generasi atau angkatan Bapak Presidenku, Yang Mulia…
Bapak Presidenku, Yang Mulia, Akhirnya, tulisan ini adalah setitik upaya, agar jangan ada lagi interupsi yang tak didengar, lantaran telinga-telinga tuli enggan mendengar dan para pemburu dunia sungkan menggubris. Agar jangan ada lagi ide yang tak punya kesempatan untuk dibukukan, lantaran setiap generasi belum punya obsesi untuk melakukan peran menyusun kata-kata dalam kertas-kertas yang terlihat kusam. Padahal semua orang bisa melakukan peran ini, baik pemimpin bangsa maupun rakyat biasa, terutama generasi muda, walaupun ditulis di antara “rintihan kesepian” dan “kepenatan politik” yang tak kenal jeda. Semoga ada yang berminat. Terima kasih Bapak Presidenku, Yang Mulia, terima kasih Pak Jokowi … !!! Jaya Terus Indonesiaku.
Atas Nama Anak Negeri dan Rakyatmu yang Sangat Mencintaimu,
(@T.M. Jamil_Akademi_USK_Banda Aceh).