Informasi Kami

Alamat : Jln. Line Pipa, Desa Blang Adoe, Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara, Aceh

We Are Available 24/ 7. Call Now.

Oleh :
T.M. Jamil
Guru pada Sekolah Pascasarjana, USK, Banda Aceh

SEBAGAI Dosen, akhir-akhir ini saya merasa ada yang salah dalam menjalankan kegiatan-kegiatan rutin. Seharusnya, aktivitas-aktivitas saya akan dapat menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman di bidang keilmuan saya, tapi ternyata tidak.

Akhir-akhir ini saya malah merasa menjadi mahir dalam melacak dokumen-dokumen SK, sertifikat seminar, prosiding-prosiding seminar yang pernah saya ikuti beberapa tahun yang lalu, Piger print Tiap Hari agar saya dianggap disiplin sebagai abdi negara, dan lain-lain sebagainya. Saya juga trampil dalam mengoperasikan mesin fotocopy dan scanner, tidak kalah dengan karyawan foto copy beneran.

Teman-teman saya juga begitu, apalagi hari-hari ini mereka yang mengusulkan kenaikan jabatan harus berkejaran dengan waktu karena Kemenristek-dikti atau Menpan (tidak mapan-mapan) tiap saat akan dan selalu menerapkan aturan baru (baca : manajemen terkejut) dalam kenaikan pangkat atau jabatan yang tentu saja, lebih sulit dan strict dibandingkan dengan aturan saat ini. Entah apa yang ada dalam benar mereka yang sedang berkuasa?

Hhhmmm… aturan saat ini saja sudah membuat kita bingung, apalagi aturan yang akan muncul ke depan? Sungguh hari-hari ini saya dan teman-teman berubah menjadi pekerja administratif dan bukan pengawal kemajuan intelektual untuk SDM. Anehnya lagi aturan baru dari Menpan Bagi Dosen Yang Ingin Mengusulkan Jabatan Guru Besar (Profesor) harus berpangkat IV/C. Padahal sebelumnya dengan pangkat III/D saja sudah bisa diusulkan, tentu dengan memenuhi syarat lain, seperti karya ilmiah publikasi internasional. Dengan begini saja, banyak teman-teman dosen yang gagal untuk mendapatkan jabatan itu. Begitulah jika bidang pendidikan diatur oleh orang yang tak paham tentang dunia perguruan tinggi. Entahlah, kita semakin bingung …

Semua ini berubah gara-gara musuh menyerang… eh bukan dech. Gara-gara aturan-aturan yang didasari oleh cara pandang yang tidak bisa saya pahami dengan baik (saya ternyata gagal paham, kata anak-anak muda sekarang). Mari kita lihat sebagian kecil saja di antaranya adalah :

Pertama, berbagai aturan pelaporan kinerja dosen : BKD, SIPKD, SKP, dan sebagainya. Memang (katanya) tujuannya untuk meningkatkan akuntabilitas dosen, tapi saya merasa kalau si pembuat aturan itu berkata pada saya seperti ini, ”Hai TM …. kamu WAJIB melaporkan kegiatanmu agar kami tahu bahwa kamu sudah bekerja dengan baik …”

Bagaimana tidak? Aturan-aturan itu dikeluarkan bersamaan dengan ancaman (Lihatlah Permendikti No. 20 Tahun 2017) : jika tidak melaksanakan maka akan ada akibat ini dan itu. Ada intimidasi di sana. Coba lihat pula apa yang harus dilakukan oleh dosen untuk memenuhi sistem-sistem pelaporan tersebut : mereka harus mengumpulkan bukti-bukti kegiatan yang mereka lakukan.

Saya bilang, ini adalah tindakan yang sangat heroik. Mereka harus membongkar lemari arsip kepegawaian, lalu berebut mesin scanner karena didesak tenggat waktu, dan setelah itu mengunggahnya ke sistem yang ternyata kadangkala sering ‘mati suri’ sampai batas waktu pengisian (SIPKD), PAK dan semacamnya. Tentu saja dengan berbagai sebab dan alasan. Salah satu alasan yang sering mengemuka adalah masalah ‘jaringan internet dan error atau sistem lagi di update. Terlepas dari itu semua, Bukankah kondisi seperti ini awesome sekali karena yang melakukannya adalah dosen atau pendidik.

Contoh kedua, tentang proses kenaikan jabatan/pangkat. Entah alasannya apa, tapi dosen yang akan mengusulkan karya-karya ilmiah mereka di jurnal maupun prosiding seminar diminta untuk dapat mengumpulkan dokumen jurnal/prosiding aslinya (hardcopy), memang akhirnya diupload juga. Atau batasan kepantasan, bahwa seorang dosen hanya boleh mengusulkan sekian karya ilmiah dalam satu rentang waktu tertentu. Saya juga merasa gagal paham lagi di sini. Sekarang sudah zamannya digital, mengapa harus menggunakan hardcopy? Mungkin agaknya saat ini tak lagi dibutuhkan seperti itu.

Saya juga punya beberapa mahasiswa S2 dan S3 yang cukup produktif menulis, sehingga kami secara bersama-sama bisa menghasilkan tulisan dalam jumlah yang cukup banyak dalam satu periode waktu tertentu. Haruskah ini dibatasi? Sekali lagi, ada aroma kecurigaan yang cukup kental di sini.

Dosen diminta mengirimkan dokumen hardcopy aslinya karena kalau hanya fotocopy saja mudah dipalsukan (apalagi kalau hanya dalam format digital). Dosen juga tidak mungkin menghasilkan tulisan lebih dari 2 jurnal dalam setahun, karena jika lebih dari itu, pasti menulisnya asal-asalan saja dan dimuat dalam jurnal abal-abal alias bodong dan palsu.

Sampai-sampai saya sendiri berkesimpulan bahwa sebaik apapun kita mengajar, sebanyak apapun hasil penelitian yang kita lakukan, dan sehebat apapun pengabdian kepada masyarakat yang kita wujudkan (Pokoknya Tridharma Perguruan Tinggi kita laksanakan dengan baik), namun itu semua kita belumlah disebut dosen yang baik. Kita baru dianggap dosen yang baik dan berprestasi jika banyak tulisan yang dapat terpublikasi di Jurnal Internasional yang bereputasi dan terindeks Scopus. Lucunya lagi di negeri ini, gelar profesor kehormatan sangat mudah diberikan kepada orang-orang atau anggota Partai Politik. Sungguh menyedihkan nasib kaum akademisi.

Nah, jika begitu sudah selayaknya, para pengambil keputusan di negeri ini untuk segera bisa berpikir lagi agar dapat merubah Tridharma Perguruan Tinggi (Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) menjadi Caturdharma Perguruan Tinggi (Baca : Pendidikan, Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Publikasi Ilmiah). Entahlah … !!! Itu hanya pikiran saya pribadi…

Dan Masih banyak lagi contoh aturan yang dibuat dengan cara pandang yang didasari oleh kecurigaan dan buruk sangka. Memang ada oknum-oknum dosen yang memang ngebet sekali memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Dari melakukan kegiatan pengabdian pada masyarakat secara fiktif sampai memalsu satu volume jurnal dan memasukkan tulisannya sendiri dalam cetakan palsu yang dibuatnya. Sungguh trik-trik curang yang menakjubkan!

Mungkin hal-hal semacam inilah yang kemudian membuat pihak-pihak yang berwenang mengambil kesimpulan,”Oh … ternyata dosen itu tidak bisa dipercaya…” Dan akhirnya cara pandang itulah yang terefleksikan dalam aturan-aturan tersebut. “Agar semuanya tertib dan tidak ada penyimpangan, maka semua hal harus dilaksanakan secara strict dan rinci. Harus begini dan begitu, tidak boleh begini dan tidak boleh begitu.”

Ayah, Berikanlah Saya Kesempatan … Well … saya jadi teringat anak laki-laki saya. Dia dulu paling sulit disuruh belajar. Saya dan Umminya sampai bosan tiap hari menyuruh dan mengingatkan, dia tidak kunjung sadar untuk belajar secara teratur, padahal saat itu dia akan menempuh ujian sekolah. Akhirnya kami ubah caranya. Kami beri dia kepercayaan untuk menentukan bagaimana cara dia belajar dan hanya memberi pengertian bahwa mencari sekolah yang baik itu sulit. Terserah dia untuk menentukan, kami hanya memperhatikan saja.

Ternyata di luar dugaan, anak saya malah jadi rajin belajar dan bisa menunjukkan kinerja yang baik dan akhirnya bisa diterima di sekolah tujuannya. Subhanallah … Memberikan kepercayaan ternyata lebih efektif daripada mengontrol secara detil. Jika prinsip ini berlaku di lingkungan keluarga, mestinya berlaku pula untuk lingkungan yang lebih besar dan luas. Bisakah kinerja dosen juga akan meningkat jika mereka diberi kepercayaan dan didukung secara tulus?

Saya bukan psikolog, tetapi saya yakin bahwa secara naluriah, orang yang diberi kepercayaan memiliki peluang yang lebih besar dalam berkinerja secara lebih baik, dibandingkan dengan orang yang kerjanya diatur secara rigid bak robot. Prestasi yang lebih tinggi muncul karena mereka memiliki motivasi internal yang lebih tinggi, juga rasa nyaman serta tenang dalam bekerja.

Pertanyaannya : bisakah kita menggunakan asas positive thinking (mengawali dengan kepercayaan) dalam mengatur dosen di Indonesia? Kekhawatiran terhadap efektivitas cara pandang ini memang beralasan karena sudah terbukti ada oknum-oknum yang curang dan berniat tidak baik?

Tentu saja pengaturan tetap diperlukan untuk mencegah timbulnya anarki atau chaos, tetapi cara pandangnya berbeda. Kali ini, peraturan dibuat dengan berasumsi bahwa dosen itu baik dan bisa dipercaya, kecuali kalau terbukti sebaliknya. Saya yakin cara pandang ini akan sangat menyederhanakan berbagai prosedur dan sistem karena orang baik tidak memerlukan banyak pengaturan. Proses-proses birokrasi akan menjadi ramping dan efisien.

Dosen tidak harus nglembur mencari prosiding seminar yang entah sekarang ada di mana, atau “memperkosa” scanner dengan setumpuk SK, sertifikat, dll. Semua pihak, termasuk dosen, dapat menghemat tenaga, waktu, dan biaya, dan yang lebih penting, mereka bisa berkonsentrasi pada tugas-tugas utamanya.

Bagaimana kalau ada oknum yang nakal? Yang jelas, kepercayaan yang diberikan harus digunakan dengan baik. Bila ada yang mengkhianati, hukumannya harus cukup berat sehingga menimbulkan efek jera. Dosen pemalsu jurnal kalau perlu dipecat dari jabatannya. Satu lagi syaratnya : harus konsisten dalam menerapkan aturan. Kalau terbukti memalsu jurnal atau melakukan plagiasi, tidak peduli dosen rakyat kecil atau dosen dewa di kahyangan harus dihukum setimpal. Equality before law harus diterapkan secara konsisten.

Saya mencoba berempati pada dosen Indonesia. Mereka itu ibaratnya anak laki-laki saya dalam cerita di atas. Saat ini mereka sedang tidak dipercaya oleh bapaknya. Kehidupan mereka diatur dan diawasi secara detil. Sebenarnya ada rasa tidak suka diperlakukan seperti itu, tetapi mereka tidak kuasa menolak karena sepertinya cara pandang yang sama juga berlaku umum di Indonesia, tidak hanya untuk dosen saja, untuk guru juga.

Lihat saja di jalan-jalan raya. Mengapa harus dipasang divider beton? Itu karena para pengemudi dianggap tidak bisa dipercaya : mereka pasti akan melanggar marka jalan, saling serobot, dsb. Di depan loket-loket misalnya, selalu ada pembatas antrian karena tipikal para pengantri adalah suka menyerobot posisi orang lain.

Ada harapan kepada “bapak-nya dosen”, bisakah memberi kepercayaan kepada para dosen tersebut? Bisakah aturan-aturan dibuat dengan landasan kepercayaan? Mungkin si bapak merasa ragu karena berdasarkan pengalaman masa lampau, banyak sekali oknum nakal yang membuat repot si bapak.

Tapi bukankah memang itu tugas bapak untuk membina si anak agar tidak nakal lagi? Bapak tidak boleh kalah dari anaknya. Bapak harus mencari cara yang jitu, karena di-situlah sebenarnya peran penting seorang bapak. Kalau tidak mau melakukan itu, lebih baik jangan menjadi bapak aja dech …

Yang jelas, sebagai anak, saya akan sangat respek kepada bapak saya, jika dia bersedia memberi kepercayaan kepada saya. Saya akan balas kepercayaan itu dengan kinerja yang baik, tanpa harus dimonitor dan diawasi secara berlebihan. Dan saya yakin, mayoritas anak-anak Indonesia memiliki pandangan yang sama, seperti saya. Jadi, berilah kepercayaan itu kepada kami Wahai Bapak Yang Mulia. Semoga Tulisan Ini Bemanfaat Bagi Kita Semua. Tentu diharapkan dapat menjadi panduan bagi “penguasa” bidang pendidikan di negeri ini. Wallahu ‘Aklam Bisshawab.

Bumi Serambi Mekkah, 16 Mei 2023.


editor

Medialiterasi.id Portal Media Informasi, Edukasi dan Peradaban Dunia. Melihat Fakta dengan Cara Berbeda Aktual dan Terdepan dalam Menyajikan Beragam Peristiwa di Seluruh Pelosok Nusantara.