ACEH UTARA – Pertukaran Mahasiswa Merdeka yang tergabung dalam Modul Nusantara menelusuri tempat pembuatan tas kerajinan tangan khas Aceh, disana mahasiswa belajar cara pembuatan tas kerajinan tangan khas Aceh yang berlokasi di Gampong Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. (8/10/2022)
Kegiatan yang diikuti 20 mahasiswa Modul Nusantara kelompok 4 dengan nama kelompok “Beumeuhase” yang dibimbing oleh dosen Modul Nusantara, Juni Ahyar, S.Pd., M.Pd dan bantu oleh mentor, Rizky Amanda.
Juni Ahyar menuturkan, kegiatan ini merupakan salah satu modul kebinekaan yang harus diikuti oleh seluruh mahasiswa Modul Nusantara hingga siang hari yang dibimbing langsung oleh Sanusi selaku pengusaha kerajinan tas motif khas Aceh itu sendiri sembari menjelaskan jumlah variannya.
Tas Aceh merupakan satu souvenir khas Aceh yang wajib dibeli jika berkunjung ke Aceh. Produsen tas ini tepatnya berada di Ulee Madon, Manasah Aron, Bungkah, yang berada di Kecamatan Muara Batu dan juga tersebar di beberapa desa lainnya.
Tas bermotif Pinto Aceh (Pintu Aceh) sudah menjadi salah satu ikon suvenir dari Aceh. Tas ini diproduksi disejumlah daerah di Aceh, seperti yang dilakukan Sanusi.
Usaha yang dibangun sejak 1988 itu sudah menebar pesona dan menarik banyak importir di Jakarta untuk memasarkan produk tersebut ke luar negeri seperti Malaysia, Amerika Serikat, dan Kanada.
Sanusi (55) mengatakan, awalnya, usaha itu hanya membuat beberapa bentuk tas wanita termasuk dompet dengan harga sangat murah, namun seiring berjalannya waktu, usaha itu terus berkembang dan kini beberapa butik dan toko suvenir di Aceh mulai memasarkan tas dari Ulee Madon hasil karyanya itu.
Sanusi biasanya memproduksi 1.000 unit per bulan. Dalam usahanya itu Sanusi menampung 22 pekerja yang punya keahlian di bidangnya, bahkan, kini usaha itu telah mencoba memproduksi tas jenis baru seperti tas laptop, ransel, tas gendong, dan koper traveling.
Sanuai warga desa Ulee Madon, Muara Batu Aceh Utara, Aceh terlihat santai dalam menjelaskan proses pembuatan kerajinannya kepada mahasiswa Modul Nusantara.
Pengrajin tas ini berpuluh tahun menghabiskan hidupnya dengan benang dan kain mengubahnya menjadi tas aneka warna, beragam ukuran, multifungsi.
Seluruh tas kreasinya bermotif khas Aceh, seperti rencong, pinto Aceh dan lain sebagainya.
Bagi Sanusi, kerajinan tas bukan sebatas usaha dan bisnis menghidupi keluarga,
namun meneruskan usaha turun temurun yang dirintis sejak neneknya dahulu. Kenangan Sanusi melambung ke puluhan tahun silam.
“Dulu kerajinan bordir masih sebatas untuk kopiah (peci) dan sajadah. Lalu muncul ke model tas, seperti yang ditekuni kini” Kenang nya.
Sanusi juga mengatakan sebelum membuat tas saat ini, ia lebih dulu melihat permintaan pasar baik di pasar daerah Krueng Geukueh, Bireun, dan Kabupaten Aceh Tengah.
“Saat itu, tikar sajadah dari anyaman pandan, tapi pembeli meminta dengan harga murah, baru kemudian Dinas Industri Kabupaten Aceh Utara memesan 20 sajadah untuk dibawa ke festival kerajinan di Banda Aceh pada medio 1980-an”, tuturnya.
Selain itu Sanusi turut serta menambah pekerja untuk memproduksi tas pesanan itu.
“Saat itu waktu diberikan sangat singkat, (karena itu) saya mengajak warga sekitar untuk membantunya membantu pesanan,” katanya.
Sanusi Pernah juga merantau ke pulau Jawa dari sana, Sanusi banyak belajar. Selama sebulan penuh Sanusi menimba ilmu bordir dengan segala macam kerumitannya. Sepulang dari pulau Jawa, ia mulai mengembangkan tas motif Aceh yang kini dikenal luas hingga ke mancanegara.
Produk tas khas Aceh kian populer setelah tsunami melanda pada 2004 silam. Para warga negara asing (WNA) yang saat itu membantu rehabilitasi dan rekonstruksi suka dengan kerajinan tersebut. Dari situ lah tas kian dikenal luas ke mancanegara.
Seiring waktu, kerajinan ini terus berkembang. Setidaknya 17 unit usaha kini berada di desa itu. Tak kurang, 500 pengrajin terampil selalu menghasilkan beragam tas. Kini, Sanusi sadar, pengetahuan bisnisnya bukan sebatas miliknya. Tas Aceh makin mendunia. Oleh karena itu, ia beberapa kali memberikan pelatihan untuk pengrajin di Aceh Utara.
Dalam kesempatan yang sama Kepala Desa Ulee Madon, Tgk Salahuddin AB mengapresiasi seluruh pengrajin di desanya. Dia tak henti-hentinya mengajak seluruh lembaga keuangan, lembaga sosial, dan pemerintah untuk bekerjasama dengan pengrajin desa itu. Dia menyebutkan, pengrajin semakin sejahtera, sehingga mengurangi angka pengangguran dan masalah sosial yang ditimbulkan.
Dia menyebutkan, Banda bags salah satu toko online, bahkan menjual tas ke Amerika Serikat.
“Sekarang sudah banyak super market juga menjual tas Aceh. Bisa kita lihat mulai dari supermarket di Lhoksuemawe, Jakarta, Medan, Bandung,” kata Salahuddin.
Lebih lanjut Desa Ulee Madon itu juga menilai hasil karya warga desanya itu patut diberikan apresiasi dikarenakan sudah dipasarkan hingga ke pasar internasional.
“Itu menandakan, tas ini bukan sebatas karya khas Aceh, juga keren untuk segala usia,” katanya.
Sedangkan untuk merk dan hak paten, Sanusi sudah mengurusnya ke Kantor Kementerian Hukum dan HAM. Supaya barang produksinya legal dijual di pasar mana saja.
Produksi Home Industri Ulee Madon terus menggeliat dengan kerajinannya. Asa mereka melambung agar terus berkembang. Selain itu Para pengrajin juga membutuhkan sentuhan pemerintah, agar bisnis rumahan itu bukan dikenal lebih luas dan mendunia.
Reporter : JA | Photo : Juni Ahyar | Editor : Endang